Model rotasi kepemimpinan kembali menjadi sorotan internasional setelah Konfederasi Negara-Negara Sahel (AES) secara resmi menyerahkan jabatan Presiden Konfederasi kepada Kapten Ibrahim Traoré dari Burkina Faso. Sistem ini menempatkan kepala negara anggota secara bergiliran sebagai pemimpin konfederasi, sebuah pola yang langsung mengingatkan banyak pengamat pada sistem presidensi kolektif Bosnia dan Herzegovina pasca-Perjanjian Dayton.
AES, yang terdiri dari Burkina Faso, Mali, dan Niger, merupakan konfederasi baru yang lahir dari dinamika politik Sahel yang penuh ketidakstabilan. Ketiga negara ini sama-sama dipimpin pemerintahan militer dan memutuskan keluar dari ECOWAS, lalu membangun mekanisme sendiri untuk koordinasi keamanan dan politik regional.
Dalam struktur AES, jabatan Presiden Konfederasi bersifat rotasi tahunan. Setiap satu tahun, kepemimpinan berpindah dari satu kepala negara ke kepala negara lain. Rotasi ini dimaksudkan untuk mencegah dominasi satu negara dan menjaga keseimbangan di antara tiga junta militer yang sama-sama kuat secara internal.
Sistem ini memiliki kemiripan prinsip dengan Bosnia dan Herzegovina, negara yang sejak akhir perang Balkan dipimpin oleh presidensi kolektif tiga orang. Di Bosnia, kursi ketua presidensi bergilir setiap delapan bulan di antara perwakilan Bosniak, Serbia, dan Kroasia, dalam satu masa jabatan empat tahun.
Kelebihan utama sistem rotasi, baik di AES maupun Bosnia, terletak pada kemampuannya menekan potensi konflik internal. Dengan jaminan bahwa kekuasaan tidak akan dimonopoli satu pihak, aktor-aktor utama memiliki insentif untuk tetap berada dalam kerangka bersama daripada menempuh jalan konfrontasi.
Di AES, rotasi tahunan membantu meredam kecurigaan antarpemimpin militer. Burkina Faso, Mali, dan Niger memiliki pengalaman kudeta dan konflik internal yang berbeda, sehingga mekanisme bergilir menjadi alat konsolidasi politik yang relatif murah dan cepat tanpa perlu institusi kompleks.
Bosnia menunjukkan sisi lain dari kelebihan rotasi, yakni kemampuannya menjaga perdamaian jangka panjang. Selama hampir tiga dekade, sistem presidensi kolektif berhasil mencegah kembalinya perang besar, meskipun tensi politik antar-etnis tetap tinggi.
Namun, sistem ini juga membawa kelemahan struktural yang signifikan. Di AES, kepemimpinan rotasi cenderung bersifat simbolik dan sangat bergantung pada hubungan personal antar pemimpin. Tanpa birokrasi konfederasi yang kuat, keputusan strategis kerap lambat atau bergantung pada kesepakatan informal.
Kelemahan serupa terlihat di Bosnia, tetapi dalam bentuk yang lebih terlembagakan. Mekanisme veto dan kepemimpinan kolektif sering kali menciptakan kebuntuan politik, membuat negara sulit mengambil keputusan cepat dalam isu ekonomi, keamanan, dan reformasi.
Dalam konteks AES, rotasi juga berisiko melemahkan konsistensi kebijakan. Program yang dirintis satu pemimpin bisa kehilangan momentum ketika kursi Presiden Konfederasi berpindah ke negara lain dengan prioritas berbeda.
Bosnia menghadapi masalah yang hampir sama, meski dalam skala institusional. Setiap pergantian ketua presidensi sering disertai perubahan nada politik, terutama dalam hubungan dengan Uni Eropa dan NATO, meskipun arah besarnya relatif tetap.
Dari sisi legitimasi, AES menghadapi tantangan lebih besar. Sistem rotasi tidak berbasis pemilu, melainkan pada legitimasi militer dan kontrol keamanan. Hal ini membuat kepemimpinan konfederasi rentan dipertanyakan oleh masyarakat sipil dan komunitas internasional.
Sebaliknya, Bosnia memiliki legitimasi formal melalui pemilu, tetapi legitimasi substantifnya sering dipertanyakan karena sistem tersebut mengunci politik pada identitas etnis dan menghambat munculnya agenda lintas kelompok.
Kelebihan lain sistem rotasi adalah fleksibilitas. AES dapat dengan cepat menyesuaikan struktur kepemimpinannya sesuai kebutuhan keamanan regional, sesuatu yang sulit dilakukan dalam negara dengan konstitusi kaku seperti Bosnia.
Namun fleksibilitas ini sekaligus menjadi kelemahan. Tanpa aturan baku yang kuat, AES berpotensi berubah arah secara drastis jika terjadi konflik personal atau perubahan drastis situasi keamanan di salah satu negara anggota.
Bosnia, dengan segala kekakuannya, justru unggul dalam prediktabilitas. Semua aktor mengetahui jadwal rotasi dan batas kewenangan, meskipun konsekuensinya adalah proses pengambilan keputusan yang lamban.
Dalam jangka panjang, keberhasilan sistem rotasi sangat ditentukan oleh konteks. Di Bosnia, sistem ini dirancang sebagai alat pencegah perang, bukan sebagai mesin pemerintahan yang efisien. Di AES, rotasi lebih berfungsi sebagai alat konsolidasi kekuasaan di tengah tekanan eksternal.
Jika keamanan Sahel membaik, tuntutan terhadap sistem yang lebih permanen dan terinstitusionalisasi kemungkinan akan menguat. Di titik itu, rotasi tahunan bisa dianggap tidak lagi memadai.
Sebaliknya, pengalaman Bosnia menunjukkan bahwa sistem rotasi dapat bertahan lama jika tujuan utamanya adalah menjaga keseimbangan rapuh, bukan mendorong efektivitas negara.
Pada akhirnya, baik AES maupun Bosnia menunjukkan bahwa rotasi kepemimpinan bukan solusi ideal, melainkan kompromi politik. Sistem ini efektif untuk menahan konflik, tetapi lemah dalam mendorong tata kelola yang cepat dan efisien.
Di tengah fragmentasi dan ketidakpastian global, rotasi kekuasaan menjadi cermin dari realitas politik: stabilitas sering kali harus dibeli dengan mengorbankan efektivitas.
0 Komentar