Pemerintahan Suriah pasca-jatuhnya rezim Bashar al-Assad tampaknya berupaya membangun fondasi baru dengan menyatukan berbagai faksi oposisi ke dalam struktur negara yang lebih inklusif.
Namun, salah satu tantangan terbesar adalah nasib Syrian Democratic Forces (SDF), kelompok bersenjata Kurdi yang menguasai wilayah timur laut Suriah. Berbeda dengan Syrian National Coalition (SNC) yang akhirnya bubar, SDF justru menolak pembubaran diri meski ada desakan dari pemerintah transisi. Fenomena ini mencerminkan dinamika kompleks di tengah upaya rekonsiliasi nasional.
Jatuhnya Assad pada Desember 2024 membuka babak baru bagi Suriah, di mana kekuatan di bawah pemerintaha penyelamat (SG) di Idlib dan dukungan pasukan dari pemerintahan interim (SIG) merebut Damaskus. Presiden koalisi SNC Hadi al-Bahra segera mengusulkan periode transisi 18 bulan sesuai Resolusi Dewan Keamanan PBB 2554, untuk membangun kembali institusi dan ekonomi Suriah. Ia menekankan perluasan SNC agar mencakup elemen oposisi baru, menunjukkan komitmen untuk pemerintahan yang inklusif.
Koalisi juga menyatakan dukungannya terhadap pemerintah sementara yang dipimpin Mohammed al-Bashir yang saat itu PM SG di Idlib, sambil mendesak digelarnya konferensi nasional untuk membentuk pemerintahan yang mewakili semua kelompok. Al-Bahra bahkan mengumumkan bahwa koalisi siap bubar jika konferensi konstitusional nasional yang kredibel digelar, menandakan transisi damai dari struktur oposisi ke negara baru.
Pada 30 Desember 2024, al-Bahra memindahkan markasnya ke Damaskus, menandakan keterlibatan langsung dalam proses pembangunan. Namun, pada Januari 2025, koordinator konferensi dialog Samir Sattouf mengumumkan bahwa SNC dan Syrian Negotiation Commission (SNC) tidak diundang, karena mandat mereka sudah kedaluwarsa sejak jatuhnya Assad. Pemimpin baru Ahmed al-Sharaa mengonfirmasi hal ini, meski anggota individu boleh ikut secara pribadi.
Meski begitu, al-Sharaa bertemu delegasi SNC yang dipimpin al-Bahra pada 8 Januari 2025, menunjukkan dialog tetap terbuka. Pada 30 Januari, pemerintah sementara Suriah SIG di bawah SNC menyatakan diri "siap menyerahkan" kepada pemerintah transisi, mempercepat proses integrasi. Langkah ini menjadi model bagi faksi lain, termasuk SNC yang mulai menyesuaikan diri.
Pada 7 Februari 2025, Kurdish National Council (KNC) yang menjadi bagian dari SNC mundur dari koalisi, menambah kerumitan dinamika Kurdi. Lalu, pada 11 Februari, laporan menyebut SNC bersiap bubar dan menginstruksikan pegawainya melamar posisi di administrasi baru. Keesokan harinya, al-Bahra bersama presiden Syrian Negotiation Commission Bader Jamous bertemu lagi al-Sharaa, menyepakati pembubaran kedua organisasi dan integrasi kadernya ke aparatur negara.
SNC pun menyatakan setia kepada otoritas Suriah baru, menjadikannya contoh sukses integrasi. Pembubaran SNC ini didorong oleh mandat yang sudah usang dan keinginan berintegrasi untuk stabilitas nasional. Namun, SDF, yang mengendalikan sepertiga wilayah Suriah termasuk ladang minyak, tidak mengikuti jejak serupa, meski pemerintah transisi mendesak pembubaran semua kelompok bersenjata non-negara.
Mengapa SDF enggan bubar seperti SNC? Pertama, SDF memiliki otonomi de facto sejak 2015, mengelola wilayah timur laut melalui Democratic Autonomous Administration of North and East Syria (DAANES). Berbeda dengan SNC yang lebih bersifat politik dan berbasis di luar negeri dna hanya berkuasa di beberapa kamp pengungsi dengan ibukota Azaz, SDF adalah kekuatan militer yang didukung AS, dengan 100.000 personel yang terlatih.
Pada Maret 2025, al-Sharaa dan komandan SDF Mazloum Abdi menandatangani kesepakatan kerangka untuk integrasi SDF ke institusi negara, termasuk penyerahan ladang minyak, bandara, dan penjara. Namun, kesepakatan ini lebih ke arah merger bertahap hingga akhir 2025, bukan pembubaran instan, karena SDF menuntut jaminan otonomi regional dan status khusus dalam militer nasional.
Alasan utama ketidakbubaran SDF adalah dukungan militer AS, yang menempatkan 2.000 pasukan di wilayah SDF dan juga militer Rusia di pangkala Tabqa dan Qamishli. AS melihat SDF sebagai mitra andal untuk mengontrol kawasan sementara Rusia sudah menganggap SDF sebagai mitra baru usai rejim Assad bubar. Penarikan pasukan AS berpotensi destabilisasi, sehingga Washington mendorong integrasi damai daripada pembubaran paksa.
Selain itu, pihak eksternal di belakang menganggap SDF masih relevan untuk membatasi pengaruh Turki menganggap SDF sebagai perpanjangan PKK, kelompok teroris menurutnya. Meski begitu upaya Damskus untuk memperluas operasi di Manbij pada Desember 2024 juga sudah dihentikan. Upaya milisi suku untuk membebaskan seluruh wilayah Deir Ezzour terhenti karena intervensi AS. Ini membuat SDF semakin yakin dengan kekuataannya dan memilih lebih menekan Damaskus untuk mendapat lebih banyak konsesi.
Fragmentasi etnis juga berperan. SDF mencakup Kurdi, Arab, dan kelompok lain, tapi didominasi Kurdi yang menuntut desentralisasi federal, bertentangan dengan visi negara persatuan pemerintah al-Sharaa. Sementara SNC bisa bubar karena tidak menguasai wilayah kecuaki kamp pengungsi dna kantong di Gel Abyad dan Ras Al Ain, SDF mengendalikan sumber daya ekonomi vital seperti 70 persen ladang minyak dan gas, memberi leverage untuk menunda pembubaran.
Kemampuan SDF melakukan serang ke beberapa daerah di luar wilayahnya dan ketidakmampuan Damaskus untuk menguasai Suwaida yang memberontak di bawah milisi Druze Al Hajri pro Israel setelah serangan IDF ke gedung pertahanan Suriah membuat SDF semakin yakin dengan posisinya.
SDF melalui SDC juga menggelar konferensi dengan mengundang berbagai elemen yang pro organisasinya di Raqqa membuat Kurdi semakin tak menghargai Damaskus.
Pemerintah transisi, meski mendesak integrasi, menghadapi tantangan internal seperti gangguan dari eks tentara rejim dari kalangan Alawit, membuatnya Damaskus semakin tak dihiraukan oleh SDF.
Dukungan internasional bagi SDF juga menghambat. Uni Eropa dan Prancis mendukung peran SDF mengimbangi Turki, sementara Rusia semakin mesra dengan SDF. Meski AS telah menghapus sebagian sanksi untuk Suriah, SDF melihat tak ada dorongan untuk menghormati Damaskus jika tak menghargai hegemoni Kurdi terhadap mayoritas Arab di wilayahnya.
Protes dari komunitas Arab di wilayah SDF, seperti di Raqqa dan Deir ez-Zor, menuntut integrasi ke Damaskus, tapi SDF menanggapi dengan penangkapan, menambah tuduhan pelanggaran hak asasi. Human Rights Watch melaporkan SDF bertanggung jawab atas kematian sipil, tapi ini tidak mengurangi dukungan AS yang melihat SDF sebagai penjaga kestabilan.
Pada April 2025, kabinet transisi al-Sharaa termasuk satu anggota Kurdi, tapi bukan dari SDF, menunjukkan upaya inklusif tapi terbatas. SDF mengkritik deklarasi konstitusi Maret 2025 sebagai eksklusif, menuntut federalisme seperti model Rojava. Ini membuat pembubaran sulit, karena SDF tak ingin kehilangan otonomi yang dibangun selama perang sipil di mana Kurdi memimoin mayoritas Arab.
Negosiasi lambat karena perbedaan interpretasi kesepakatan Maret. SDF ingin tetap sebagai blok militer di timur laut, sementara Damaskus menuntut pembubaran penuh untuk hindari warlordisme. AS memediasi, tapi ketegangan dengan Turki—yang ingin SDF bubar—membuat proses alot.
Dalam konteks lebih luas, pembubaran SNC sukses karena organisasi itu lahir dari oposisi eksternal tanpa dukungan pemain regional. SDF, sebaliknya, adalah produk perang sipil yang mengisi kekosongan kekuasaan, didukung koalisi internasional dan belakangan Israel yang sudah main mata dengan milisi Druze Al Hajri.
Hingga September 2025, implementasi kesepakatan masih rapuh, dengan bentrokan sporadis dan tuntutan suku Arab. Pemerintah transisi fokus pada sanksi yang dicabut AS dan Eropa, tapi SDF tetap mandiri, dengan langkah yang bisa menekan Damaskus yang juga ditusuk dari belakanb oleh Druze dan Alawit. Ini menunjukkan bahwa integrasi butuh waktu, apatah lagi pembubaran.
Akhirnya, ketidakbubaran SDF mencerminkan keseimbangan kekuatan pasca-Assad: ambisi nasional Damaskus versus realitas geopolitik. Sementara SNC bubar untuk rekonsiliasi, SDF bertahan untuk menjadi pemain yang lebih kuat. Suriah baru ini masih rapuh, dan SDF tidak sendirian menekan Damakus; ada AS, Rusia, Druze dan Israel yang kini bermain lebih dalam di politik Suriah.
Kondisi SDF mirip seperti Somaliland di Somalia. Meski banyak yang tak akui sebagai negara, banyak aktor luar yang kemungkinan ikut campur tangan jika Somalia merebut paksa Somaliland seperti Ethiopia yang sudah mengakui kemerdekaan Somaliland.
Begitu juga SDF, ada Amerika dan Israel yang bakal mengganggu pemerintah Suriah jika wilayah SDF direbut secara militer dan ada Rusia di lapisan kedua yang militernyan menguasai Tabqa dan Qamishli serta ada Kurdistan di Irak yang telah menyatakan akan mendukung SDF jika Damaskus bersikeras akan menyatukan wilayah Suriah sampai ke daerah SDF.
0 Komentar