Daraa kembali dipenuhi langkah-langkah warga yang pulang setelah bertahun-tahun mengungsi. Kota yang menjadi titik awal gejolak Suriah 2011 itu masih menyimpan luka fisik yang nyata, dengan rumah-rumah hancur dan lingkungan yang nyaris tak tersentuh pembangunan selama bertahun-tahun. Kepulangan mereka pasca pemerintahan Presiden Ahmed Al Sharaa membuka kembali pertanyaan mendasar bagi warganya: membangun ulang dari nol atau sekadar memperbaiki sisa yang ada.
Di sejumlah kawasan Daraa al-Balad dan sekitarnya, puing-puing bangunan masih berdiri sebagai penanda konflik yang belum benar-benar usai. Banyak rumah rusak berat, sebagian lain hanya kehilangan atap atau dinding. Secara teknis, sebagian bangunan masih dapat ditempati dengan perbaikan sederhana, tetapi kondisi ini jauh dari layak untuk kehidupan jangka panjang.
Pada masa pemerintahan Bashar al-Assad, Daraa memang sempat direbut kembali oleh pasukan pemerintah. Namun berbeda dengan kota lain, rekonstruksi hampir tidak berjalan. Ketidakhadiran pembangunan ini bukan sekadar persoalan anggaran, melainkan berkaitan erat dengan status politik Daraa sebagai simbol perlawanan awal terhadap rezim.
Reruntuhan di Daraa berfungsi lebih dari sekadar sisa perang. Bagi banyak warga, puing-puing itu menjadi pengingat bahwa kota mereka belum sepenuhnya diterima kembali dalam tatanan nasional. Kondisi ini membuat setiap keputusan membangun atau memperbaiki rumah sarat dengan risiko non-teknis.
Pilihan membangun baru sering dipandang ideal secara jangka panjang. Rumah baru memungkinkan tata ruang yang lebih aman, sehat, dan sesuai kebutuhan keluarga yang berubah setelah perang. Selain itu, membangun dari nol memberi peluang bagi pemulihan psikologis, seolah memulai kehidupan baru setelah trauma panjang.
Namun realitas di lapangan membuat opsi ini sulit diwujudkan. Membangun baru membutuhkan izin, kepastian hukum atas lahan, serta modal besar. Di Daraa, ketiganya sering tidak tersedia. Banyak warga tidak memiliki dokumen kepemilikan yang diakui, sementara proses perizinan kerap berbelit dan tidak transparan.
Sebaliknya, memperbaiki rumah lama menjadi pilihan yang lebih sering diambil. Perbaikan dilakukan secara bertahap dan terbatas, cukup untuk membuat satu atau dua ruangan dapat dihuni. Cara ini dianggap lebih aman karena tidak menarik perhatian aparat dan tidak memerlukan perubahan struktur besar.
Namun perbaikan seadanya membawa konsekuensi lain. Rumah yang diperbaiki tanpa standar teknis memadai tetap rentan terhadap cuaca, gempa, dan risiko kesehatan. Anak-anak tumbuh di lingkungan yang tidak layak, sementara keluarga hidup dalam ketidakpastian jangka panjang.
Dilema ini memperlihatkan bahwa persoalan Daraa bukan semata soal bangunan, melainkan soal kekuasaan dan hukum. Selama tidak ada kepastian hak milik dan perlindungan hukum bagi warga, setiap upaya rekonstruksi akan selalu berada di wilayah abu-abu.
Banyak warga yang akhirnya memilih strategi bertahan. Mereka memperbaiki bagian paling mendesak sambil menunggu perubahan situasi politik. Rumah-rumah di Daraa pun berubah menjadi struktur setengah hidup, tidak sepenuhnya runtuh, tetapi juga jauh dari pulih.
Kepulangan para pengungsi juga membawa tekanan sosial baru. Mereka membutuhkan tempat tinggal segera, sementara sumber daya terbatas. Dalam kondisi ini, pilihan praktis sering mengalahkan pertimbangan ideal.
Pengamat rekonstruksi menilai bahwa dalam kondisi seperti Daraa, membangun baru hanya masuk akal jika ada titik nol politik dan hukum. Tanpa itu, pembangunan justru berisiko berujung pada penyitaan atau pembongkaran paksa.
Karena itu, pilihan terbaik bagi warga saat ini dinilai adalah perbaikan minimal yang aman secara politik. Langkah ini memungkinkan keluarga kembali menetap tanpa menghadapi risiko hukum yang besar, meski kualitas hidup masih jauh dari ideal.
Di sisi lain, pilihan ini juga mencerminkan ketahanan warga Daraa. Dengan sumber daya terbatas, mereka berusaha menciptakan ruang hidup di tengah keterbatasan yang dipaksakan oleh keadaan.
Situasi ini berbeda dengan kota-kota lain di Suriah yang mengalami rekonstruksi lebih cepat. Di Daraa, kehancuran fisik berkelindan dengan kehancuran kepercayaan antara warga dan negara, membuat pemulihan berjalan lebih lambat.
Para aktivis kemanusiaan menilai bahwa tanpa perubahan kebijakan properti dan pendekatan negara terhadap wilayah bekas oposisi, Daraa akan terus terjebak dalam kondisi setengah pulih. Kota ini hidup, tetapi tidak benar-benar berkembang.
Bagi warga, keputusan hari ini sering kali bukan soal masa depan jangka panjang, melainkan soal bertahan hidup esok hari. Atap yang tidak bocor dan dinding yang berdiri lebih penting daripada rencana besar yang penuh risiko.
Pilihan memperbaiki rumah lama memang tidak menyelesaikan masalah struktural Daraa. Namun dalam kondisi saat ini, itulah jalan paling realistis yang tersedia bagi banyak keluarga.
Di antara puing dan harapan, warga Daraa menunggu saat di mana membangun baru tidak lagi menjadi tindakan berbahaya. Hingga saat itu tiba, kota ini akan terus berdiri dalam bentuk setengah jadi, sebagai cermin konflik yang belum benar-benar berakhir.
0 Komentar