Sudan Selatan kembali berada di pusaran konflik yang tak berkesudahan. Harapan yang sempat muncul usai ditandatanganinya Perjanjian R-ARCSS untuk mengakhiri perang saudara 2013–2018 kini kian pudar. Pada akhir 2024 hingga 2025, pemerintahan Presiden Salva Kiir justru melancarkan serangkaian serangan militer di Equatoria Barat, Bahr el Ghazal Barat, dan Nil Hulu.
Tiga negara bagian tersebut bukanlah wilayah biasa. Semuanya dipimpin oleh gubernur dari kubu oposisi SPLM/A-IO dan menjadi basis kekuatan militer yang seharusnya dilebur ke dalam Pasukan Gabungan yang Diperlukan. Namun, rezim Kiir mengabaikan mekanisme integrasi dan malah membangun milisi baru di luar kerangka perdamaian.
Bentrokan yang merebak pada akhirnya dipicu oleh perebutan pos pemeriksaan. Di negara tanpa industri, pos ini menjadi sumber utama pendapatan melalui pungutan liar dan pajak ilegal. Pemerintah berupaya memutus aliran dana oposisi dengan menguasai titik-titik strategis tersebut.
Strategi itu justru memperluas kekerasan. Di Bahr el Ghazal Barat, operasi SSPDF menyebabkan ribuan warga sipil terusir. Di Equatoria Barat, konflik lama antaretnis antara Balanda dan Zande kembali meledak, diperparah oleh manuver komandan lokal yang berbalik mendukung pemerintah.
Situasi semakin panas di Nil Hulu. Operasi sungai yang digerakkan oleh milisi Shilluk berakhir berantakan, memicu mobilisasi White Army dari komunitas Nuer. Pertempuran ini memperdalam luka lama antara Dinka, Shilluk, dan Nuer, serta menyeret negara ke jurang perang baru.
Pemerintah tidak sekadar menekan lawan di medan tempur, tetapi juga melakukan penangkapan tokoh-tokoh oposisi. Riek Machar, simbol perdamaian sekaligus pemimpin SPLM/A-IO, kembali dijadikan tahanan rumah. Penahanan ini semakin melemahkan dialog politik yang seharusnya menjadi inti R-ARCSS.
Di sisi lain, oposisi juga tercerai-berai. Beberapa komandan memilih bergabung dengan pemerintah demi akses kekuasaan, sementara lainnya tetap mempertahankan pasukan bersenjata. Fragmentasi ini membuat jalur perundingan semakin buntu.
Keterlibatan Uganda melalui dukungan udara bagi rezim Kiir memperumit konflik. Bagi banyak komunitas lokal, serangan dari helikopter dan jet Uganda menjadi bukti bahwa perang ini bukan lagi sekadar urusan domestik, melainkan perebutan pengaruh regional.
UNMISS yang digadang-gadang memiliki mandat perlindungan sipil terkuat dalam sejarah PBB terbukti tidak mampu menahan laju kekerasan. Kepercayaan rakyat, khususnya komunitas Nuer, terhadap lembaga internasional semakin menipis.
Dalam skenario perdamaian, ada kebutuhan mendesak untuk menghidupkan kembali R-ARCSS dengan jaminan implementasi yang ketat. Komunitas internasional, terutama IGAD dan Uni Afrika, perlu memainkan peran lebih aktif, bukan sekadar sebagai pengamat.
Rekonsiliasi antaretnis juga mutlak dilakukan. Tanpa mengatasi luka sejarah antara Dinka, Nuer, Shilluk, dan kelompok lain, setiap perjanjian hanya akan menjadi jeda sebelum kekerasan berikutnya. Mekanisme keadilan transisional harus dipercepat agar korban perang mendapatkan pengakuan.
Namun, jika deadlock terus berlanjut, skenario lain mulai dibicarakan di kalangan analis: kemerdekaan Nuerland. Wilayah Jonglei utara, Nil Hulu, hingga perbatasan Ethiopia merupakan kantong besar komunitas Nuer yang kini menjadi pusat mobilisasi White Army.
Kemerdekaan Nuerland bisa menjadi jalan keluar terakhir bila Sudan Selatan gagal menyatukan diri. Negara baru ini akan berperan sebagai benteng etnis Nuer yang merasa dikhianati oleh rezim Kiir dan terpinggirkan dari struktur negara.
Namun, jalan ini penuh risiko. Pemisahan Nuerland dapat memicu domino disintegrasi di wilayah lain seperti Equatoria atau Bahr el Ghazal, yang juga menyimpan benih separatisme. Konflik etnis bisa semakin tak terkendali jika model ini diikuti kelompok lain.
Meski begitu, wacana Nuerland mencerminkan frustrasi komunitas lokal terhadap proses perdamaian yang stagnan. Mereka melihat sedikit harapan bagi integrasi nasional yang adil jika rezim Kiir terus menggunakan milisi etnis dan dukungan asing.
Dalam jangka pendek, mediasi internasional harus memastikan perlindungan bagi komunitas Nuer dan menghentikan serangan udara yang menargetkan warga sipil. Keamanan dasar merupakan syarat mutlak untuk membuka ruang negosiasi.
Di tingkat regional, Ethiopia dan Kenya berpotensi menjadi mediator kunci. Keduanya memiliki kepentingan strategis atas stabilitas Sudan Selatan, terutama terkait arus pengungsi dan jalur perdagangan.
Jika skenario perdamaian dapat ditegakkan, Sudan Selatan masih punya peluang untuk kembali ke jalur rekonstruksi pascaperang. Namun, jika semua upaya gagal, dunia harus bersiap menghadapi lahirnya negara baru di Afrika Timur dengan segala konsekuensinya.
Pada akhirnya, masa depan Sudan Selatan berada di persimpangan. Antara perdamaian yang rapuh namun mungkin, atau disintegrasi yang berisiko besar namun dianggap realistis oleh sebagian komunitas. Pertanyaannya: mampukah bangsa muda ini belajar dari luka masa lalunya, atau justru kembali terperangkap dalam siklus darah yang sama?
0 Komentar