Negara Bayangan Druze Pro 'Greater Israel' di Jantung Suwayda, Selatan Suriah


Sebuah dinamika unik tengah berlangsung di provinsi Suwayda, Suriah selatan. Wilayah mayoritas Druze ini menjadi panggung lahirnya pemerintahan paralel yang dijalankan oleh sebuah 'pemerintahan' bernama Komite Hukum Tinggi Suwayda dengan negara bernama 'Jabal Druze', sementara pemerintahan resmi Damaskus tetap berusaha mempertahankan kontrol melalui kementerian dan wali kota yang mereka tunjuk. Pertemuan antara komite dengan para kepala kotamadya, seperti yang terjadi pada 10 September 2025, mencerminkan tarik-menarik kekuasaan ini.

Dalam pertemuan itu, Komite Hukum Tinggi memberikan arahan agar tata kelola lokal dijalankan dengan prinsip yang sehat, menjauhi kepentingan pribadi, serta melibatkan warga secara langsung. Pernyataan itu terdengar seperti bahasa resmi negara, padahal komite bukanlah lembaga yang diakui konstitusi Suriah. Kementerian Pertahanan Suriah sempat ingin membubarkan milisi komite ini beberapa waktu lalu saat mukai membangau warga Arab Badui untuk mencuri perhatian media.

Namun dukungan Israel dkk melalui pemboman ke Damaskus, membuat Damaskus menarik semua pasukan. Sebagian pasukan Suriah masih ditahan milisi ini dan dianggap 'diculik'. 2/3 warga Druze tidak menyetujui agenda separtisme pro neokolonialisme Greater Israel ini, namun eks penjabat dan militer era Bashar Al Assad banyak bergabung dengan milisi yang dipimpin Syeikh Al Hajri ini. Milisi ini menguasai banyak distrik dan desa di Suwaida, hanya pusat kegubernuran yang dikuasai Damaskus.

Secara de facto, milisi dan komite ini telah mendirikan pemerintahan paralel yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai “Negara Jabal Druze.”

Pemerintah pusat di Damaskus, secara hukum, masih menunjuk para wali kota melalui Kementerian Administrasi Lokal. Namun dalam praktiknya, para pejabat lokal ini tidak bisa bekerja tanpa restu komite. 

Komite atau pemerintahan paralel ini tidak mengeluarkan banyak dana operasi karena para walikota dan pegawainya masih digaji pemerintah Suriah. Sebagian milisi juga adalah pegawai Suwaida.

Mereka menghadiri rapat, menyampaikan kendala, bahkan menerima arahan yang secara substansi melebihi kapasitas sebuah lembaga masyarakat sipil. Dengan kata lain, Damaskus hanya memegang kendali simbolik, sementara realitas politik di lapangan didikte oleh pemerintahan Komite Hukum Tinggi.

Kekuasaan komite ini tidak meliputi seluruh provinsi. Kota Suwayda, yang menjadi ibu kota, relatif masih di bawah kendali langsung pemerintah Suriah. Namun, di luar pusat kota, diperkirakan 70 hingga 80 persen wilayah pedesaan dan kota-kota kecil praktis berada dalam pengaruh penuh komite. Di kawasan-kawasan itu, bendera Suriah boleh saja berkibar, tetapi instruksi sehari-hari datang dari otoritas paralel.

Struktur pemerintahan paralel ini dibentuk usai lengsernya Assad dan sebagai wadah dan bagi buronan penjahat perang, loyalis Assad dan pengedar narkoba untuk menghindar dari kejaran hukum. Namun lama-kelamaan, fungsinya meluas hingga menyerupai pemerintahan mini yang menjalankan birokrasi, hukum, bahkan fiskal.

Sumber keuangan komite menjadi persoalan yang menarik. Secara formal, sebagian anggaran pembangunan masih datang dari APBN Suriah. Namun realitasnya, aliran dana dari Damaskus sangat terbatas, bahkan sering kali hanya cukup untuk gaji pegawai. Untuk menutupi kebutuhan operasional, komite mengandalkan pungutan tambahan, termasuk retribusi lokal seperti biaya parkir, pajak pasar, serta kontribusi dari para pemilik usaha.

Skema retribusi ini tidak selalu berjalan transparan. Sejumlah laporan menyebut adanya sistem “donasi wajib” yang dibebankan kepada pengusaha dan keluarga besar di wilayah Druze. Hasilnya digunakan untuk membiayai proyek lokal, membayar aparat keamanan komite, dan menutup biaya administrasi. Dengan cara ini, Komite Hukum Tinggi mampu menjaga kemandirian meskipun tidak memiliki jalur resmi keuangan negara. Di media sosial, komite ini kerap memuji dan merayakan pemboman yang dilakukan Israel ke wilayah Suriah yang sering memakan korban tewas sehingga sering ditanggapi oleh negizen lain sebagai penghianat.

Selain aspek administratif dan fiskal, kekuatan utama komite terletak pada sayap militernya. Berbeda dengan militer reguler Suriah, komite mengandalkan kelompok-kelompok bersenjata lokal yang direkrut dari komunitas Druze sendiri dan eks militer Assad. Rekrutan bary bukan tentara profesional, tetapi memiliki pengalaman panjang sejak masa perang sipil.

Unit bersenjata ini berfungsi ganda: menjaga keamanan internal, melindungi desa-desa Druze dan melakukan sejumlah pembangaian kepada warga Arab Badui non-Druze untuk agenda neo kolonialisme Israel Raya dan sekaligus untuk meledek legitimasi pemerintahan Presiden Ahmed Al Sharaa di politik internal Suriah.

Keberadaan mereka membuat Damaskus sulit menegakkan otoritas penuh di wilayah Suwayda tanpa berhadapan langsung dengan masyarakat lokal.

Jumlah pasukan yang dimiliki komite diperkirakan mencapai beberapa ribu orang. Mereka tersebar di berbagai pos pemeriksaan tidak resmi dan desa-desa strategis. Senjata yang mereka gunakan sebagian besar adalah peninggalan dari gudang senjata eks Assad, termasuk senapan serbu, mortir, dan kendaraan lapis baja serta berbagai rudal. Kendati tidak sekuat tentara Suriah, mereka cukup tangguh untuk menjaga status quo.

Simbolisme “Negara Jabal Druze” semakin kuat ketika komite mulai mengatur proses politik lokal. Para wali kota, meski secara administratif ditunjuk pemerintah Suriah, tidak dapat menjalankan kebijakan tanpa persetujuan komite. Hal ini membuat warga lebih melihat komite sebagai otoritas sesungguhnya dibanding Damaskus yang jauh.

Kehadiran pemerintahan paralel ini menimbulkan dilema bagi Damaskus. Di satu sisi, mereka tidak mampu membubarkan komite karena risiko bentrokan dengan komunitas Druze. Di sisi lain, membiarkan struktur ini berkembang berarti mengakui adanya otonomi de facto di luar kontrol pusat.

Komite pun memanfaatkan celah itu. Dengan membungkus diri dalam bahasa hukum dan administrasi, mereka menghindari tuduhan separatisme terbuka, meski sudah mengumumkan berdirinya sebuah negara. Alih-alih menyebut diri sebagai pemerintahan alternatif, mereka menegaskan sebagai lembaga hukum yang membantu rakyat. Namun bagi banyak pengamat, peran komite jelas melampaui batas itu.

Sebutan “Negara Jabal Druze” memang tidak resmi, tetapi cukup mencerminkan kenyataan. Dari administrasi, fiskal, hingga keamanan, komite telah membangun fondasi sebuah negara bayangan. Masyarakat Druze yang selama ini dikenal memiliki ikatan komunal kuat tampak nyaman dengan pengaturan tersebut.

Penerimaan masyarakat menjadi kunci bertahannya komite. Ketika warga lebih percaya pada otoritas lokal daripada pusat, maka legitimasi Damaskus terkikis. Bahkan wali kota yang seharusnya menjadi representasi negara sering kali hanya berfungsi sebagai penghubung formal, tanpa kuasa riil.

Pertanyaan besar yang muncul adalah seberapa lama status quo ini bisa bertahan. Jika Damaskus menguatkan kendalinya, benturan dengan komunitas Druze nyaris tak terhindarkan. Sebaliknya, jika dibiarkan, pemerintahan paralel ini akan semakin mengakar dan sulit dibongkar. Komite ini sekilas mirip STC di Yaman Selatan yang berpusat di Aden.

Untuk sementara, keseimbangan rapuh ini terus berlangsung. Komite Hukum Tinggi Suwayda memegang kendali atas sebagian besar provinsi, mengatur administrasi, memungut dana, dan menjaga keamanan. Damaskus hanya bisa mempertahankan otoritas simbolik di ibu kota provinsi.

Ke depan, fenomena “Negara Jabal Druze” akan menjadi salah satu tantangan besar rekonsiliasi Suriah pascaperang. Apakah ia akan dilebur ke dalam struktur negara, atau justru berkembang menjadi otonomi permanen, masih menjadi tanda tanya.


Posting Komentar

0 Komentar