Tel Abyad di Persimpangan Politik Suriah dan Krisis Kesehatan


Tel Abyad, kota perbatasan yang terletak di utara Suriah, kembali menjadi sorotan. Tidak hanya karena dinamika politik dan militer yang rumit, tetapi juga karena krisis kemanusiaan yang kian terasa. Suku-suku Arab, milisi yang dilebur ke dalam Kementerian Pertahanan di pemerintahan Suriah yang baru di bawah Presiden Ahmed Al Sharaa membentuk realitas baru di kawasan ini.

Sejak awal konflik Suriah, Tel Abyad beberapa kali berpindah tangan. Dari ISIS pada 2014, direbut SDF pada 2015, lalu jatuh ke tangan oposisi pro-Turki melalui operasi “Peace Spring” pada 2019. Kota ini lalu dikelola oleh Syrian National Army (SNA) di bawah pemerintahan interim (SIG), yang kini secara resmi sudah dibubarkan dan dimasukkan ke dalam struktur Kementerian Pertahanan Suriah yang baru.

Meskipun secara formal berada dalam kerangka negara, realitas di lapangan masih dipengaruhi oleh kehadiran Turki, meski sudah menarik diri secara bertahap. Kerjasama Turki dan Suriah berlanjut di bidang lain di Damaskus. Walau begitu, wilayah operasi “Peace Spring” termasuk Tel Abyad dan Ras al-Ain masih sangat bergantung pada dukungan Ankara, baik dari sisi logistik, keamanan, maupun layanan kesehatan karena dikelilingi oleh wilayah SDF Kurdi.

Di tengah situasi ini, video mobilisasi suku Bakkara dari klan Al-Mashhur di Tel Abyad menggema. Mereka mendeklarasikan perlawanan terhadap “Qasd” atau SDF. Pernyataan itu lebih bermakna politik: sebuah sinyal dukungan terhadap Damaskus sekaligus klaim posisi strategis dalam peta kekuasaan baru.

Suku Bakkara adalah salah satu kekuatan sosial yang berakar kuat di timur Suriah. Dukungan mereka terhadap pemerintah Suriah menunjukkan bahwa suku-suku Arab masih menjadi faktor penentu dalam perebutan pengaruh di perbatasan. Mobilisasi ini juga memperlihatkan bahwa konflik Suriah tidak hanya ditentukan oleh negara dan militer, tetapi juga oleh jaringan tradisional suku.

Namun, kehidupan sehari-hari warga Tel Abyad jauh dari narasi politik dan militer itu. Sebuah laporan terbaru dari Enab Baladi mengungkap penderitaan pasien jantung di Tel Abyad dan Ras al-Ain. Mereka kesulitan mendapatkan perawatan medis karena ketiadaan rumah sakit khusus jantung dan jalur rujukan ke Turki yang penuh hambatan serta belum dibukanya jalur jalan ke Raqqa mauoun Damaskus oleh SDF Kurdi yang berjanji untuk berintegrasi tapi belum ditepati. Karena itu hingga saat ini Damaskus belum menunjuk pejabat gubernur di Raqqa dan Hasakah. 

Padahal jika deadlock-nya lama, bisa saja Presiden Ahmed Al Sharaa menunjuk gubernur Raqqa dan berkantor di Tel Abyad dan menunjuk gubernur Al Hasakah berkantor di Ras Al Ain. Atau keduanya dijadikan zona ekonomi dengan badan pengelola yang otonomi agar mandiri dalam pendidikan dan kesehatan.

Pasien dengan penyakit jantung dan pembuluh darah, yang membutuhkan operasi darurat atau tindakan kateterisasi, sering kali harus menunggu berbulan-bulan hanya untuk mendapatkan persetujuan rujukan. Banyak yang akhirnya meninggal karena telat mendapatkan operasi.

Fouad al-Amari, seorang pria berusia 50 tahun dari desa al-Halabiya, menceritakan kisah getirnya. Ia sudah menunggu sejak April untuk dirujuk ke Turki guna operasi bypass, tetapi hingga kini tak kunjung dipindahkan. Padahal dokter sudah memperingatkan bahwa hidupnya bergantung pada tindakan medis segera.
Al-Amari sempat mencoba mencari pengobatan di Damaskus. Namun, biaya operasi yang mencapai 20 juta pound Suriah (sekitar 2.000 dolar) membuatnya mustahil. Perjalanannya pun terhalang oleh wilayah SDF, yang mempersulit akses ke area pemerintah Suriah.

Situasi ini memperlihatkan paradoks besar. Di satu sisi, eks-SNA sudah dilebur ke Kementerian Pertahanan dan secara formal wilayah ini adalah bagian dari negara. Tetapi di sisi lain, warga tetap hidup dalam kondisi seperti “terkepung”, dengan akses terbatas ke layanan vital seperti kesehatan.

Menurut dr. Omar Hatem, spesialis jantung di Tel Abyad, wilayah ini benar-benar kekurangan fasilitas. Tidak ada ruang operasi jantung, tidak ada kateterisasi, dan hanya ada satu dokter jantung yang datang sekali seminggu dari Turki. Kondisi ini membuat banyak pasien hanya ditangani dengan obat seadanya.

Kekurangan tenaga medis menjadi masalah yang semakin akut. Ras al-Ain dan Tel Abyad praktis bergantung pada dokter-dokter yang didatangkan dari luar, tanpa adanya program jangka panjang untuk melatih tenaga lokal. Akibatnya, setiap kali pasien membutuhkan perawatan lanjutan, mereka harus menunggu jadwal keberangkatan atau mencari cara ilegal menyeberang.

Keterlambatan rujukan telah menciptakan pola kematian yang berulang. Hampir setiap minggu ada pasien jantung yang meninggal karena tak sempat mendapat tindakan. Situasi ini menimbulkan kemarahan masyarakat yang merasa terjebak antara permainan politik dan ketidakmampuan sistem kesehatan.

Pihak administrasi kesehatan lokal, yang bekerja di bawah pengaruh Turki, menyatakan berusaha memperbaiki sistem rujukan. Namun, birokrasi panjang, keterbatasan kapasitas rumah sakit Turki, dan status hukum pasien yang pernah dideportasi membuat banyak permohonan ditolak.

Krisis kesehatan ini juga memperkuat narasi suku-suku seperti Bakkara, bahwa masyarakat Arab lokal lebih baik mendekat ke Damaskus dibanding terus bergantung pada struktur bayangan yang dikendalikan Ankara. Dukungan terhadap pemerintah Suriah dibingkai sebagai jalan untuk mendapatkan layanan publik yang lebih layak.

Dengan bubarnya SNA, masa depan wilayah operasi Peace Spring berada di persimpangan. Apakah akan sepenuhnya masuk ke dalam administrasi Suriah dan mendapat akses setara dengan wilayah lain, ataukah akan terus menjadi zona abu-abu dengan ketergantungan penuh pada Turki.

Pada akhirnya, Tel Abyad hari ini mencerminkan kontradiksi Suriah pascaperang. Di permukaan, ada konsolidasi militer melalui integrasi ke Kementerian Pertahanan. Namun di akar rumput, masyarakat masih hidup dalam kondisi blokade, dengan layanan medis yang nyaris lumpuh.

Dinamika suku, campur tangan asing khususnya dukungan AS ke SDF Kurdi, dan penderitaan warga sipil membentuk wajah nyata kota perbatasan ini. Tel Abyad, yang sebelumnya pernah menjadi kota primadona untuk pengungsi, bukan hanya medan perebutan pengaruh, tetapi juga cermin dari harga mahal yang harus dibayar masyarakat akibat bekum adanya kejelasan SDF untuk berintegrasi dengan Damaskus.

Posting Komentar

0 Komentar