Tekateki Mengapa Israel Belum Membunuh Presiden Suriah


Situasi geopolitik di Suriah selalu menjadi sorotan utama kawasan Timur Tengah. Kehadiran Presiden Ahmad Al Sharaa, yang naik ke tampuk kekuasaan setelah periode panjang rezim Assad, membawa tantangan baru dalam dinamika regional.

Banyak pihak bertanya-tanya bagaimana skenario yang akan terjadi jika Israel benar-benar mengeliminasi Al Sharaa dari kursi kepresidenan, mengingat secara geografis Damaskus berada sangat dekat dengan garis perbatasan Israel di Dataran Golan yang kini sudah diperluas.

Secara militer, Israel memiliki kemampuan untuk melaksanakan operasi presisi hingga jantung Damaskus, kapanpun dimaui. Pesawat tempur dan drone Israel kerap dilaporkan melakukan serangan terbatas terhadap fasilitas militer Suriah maupun konvoi tentara di wilayah tersebut. Sekitar 80 persen alutsista militer Suriah pasca Assad juga sudah dihancurkan Israel.

Dengan jarak yang relatif singkat, akses ke ibukota Suriah bukanlah sesuatu yang mustahil bagi Israel jika mereka memutuskan untuk menargetkan kepemimpinan politik tertinggi negara itu.

Namun, mengeliminasi seorang kepala negara bukan sekadar persoalan teknis militer. Dampaknya akan menciptakan kekosongan kekuasaan yang berisiko dan itu harus sesuai dengan misi neo-kolonialisme Greater Israel. Perhitungan matang harus dibuat jika Israel merudal Presiden Al Sharaa, apakah menguntungkan Greater Israel atau tidak?

Jika Ahmad Al Sharaa digulingkan atau dirudal mati saat ini, maka kemungkinan dia akan menjadi martir atau pahlawan. Pertanyaan kedua adalah siapa yang akan menggantikan posisinya. Konstitusi Suriah menyebutkan bahwa bila presiden tidak dapat melanjutkan tugasnya, maka jabatan sementara akan dipegang oleh perdana menteri atau ketua parlemen hingga pemilu baru diselenggarakan.

Saat ini tidak ada posisi perdana menteri. Namun salah satu menterinya Mohammed al-Bashir pernah menjadi PM sementara. Juga ada Ali Kedah, mantan PM di era pemerintahan penyelamat di Idlib.

Jikapun Israel dapat mengompori milisi SDF Suriah dan Druze loyalis Syeikh Al Hajri untuk mengambil alih kekuasaan, apakah kedua kelompok inj bisa memimpin Suriah yang baru jika sudah berkuasa?

Namun, realitas politik di Suriah menunjukkan bahwa kekuasaan sejati tidak hanya berada di tangan pejabat formal, tetapi juga jaringan militer, intelijen, dan dukungan dari negara mitra seperti Turki dan negara-negara Teluk. Artinya, transisi pasca-eliminasi Al Sharaa tidak akan berjalan mulus dan justru berpotensi memicu kekacauan baru.

Israel sangat memahami risiko tersebut. Menggulingkan pemimpin Suriah dapat menciptakan ruang kosong yang justru diisi oleh kelompok yang lebih anti Tel Aviv atau bahkan memperkuat pengaruh pihak yang tidak sejalan dengan Israel. Selama ini, meski berseberangan, Israel lebih memilih menghadapi Al Sharaa yang sudah dipahami pola geraknya dibanding harus menghadapi ketidakpastian baru dengan potensi aktor non-negara yang lebih sulit dikendalikan.

Ada pula faktor internasional yang membuat Israel menahan diri. Upaya menggulingkan pemimpin negara lain secara terang-terangan akan menimbulkan kecaman besar di PBB, termasuk harus melihat apakah itu akan sesuai dengan kepentingan Amerika Serikat dkk atau tidak? yang saat ini cenderung menjaga stabilitas meski tetap menekan Suriah dalam isu-isu tertentu. Israel tentu tidak ingin menanggung biaya diplomatik yang besar akibat langkah yang bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hukum internasional.

Jadi jelas kuncinya adalah harus ada lampu hijau dari AS dkk, sebagaimana upaya pembunuhan pemimpin Iran Ali Khamenei oleh Israel. Meski begitu, serangan lintas batas seperti yang terjadi beberapa hari yang lalu akan semakin sering dilakukan mengingat Damaskus tidak punya pilihan lain selain membiarkan Israel membunuh warga dan tentaranya sesuka hati dengan tetap mengeluarkan pernyataan kutukan secara formal yang tak bakalan didengar PBB dan dunia internasional.

Selain itu, Rusia memiliki kepentingan vital di Suriah. Kehadiran basis militer Rusia di Tartus dan Latakia juga harus dipertimbangkan jika Israel benar-benar melakukan operasi untuk mengeliminasi Al Sharaa. Apakah Rusia setuju atau tidak?

Di sisi lain, Turki sebagai sekutu utama Suriah juga akan memanfaatkan kekosongan tersebut untuk mencari sosok pengganti. Ankara tidak akan membiarkan kekosongan politik diisi oleh kelompok anti-Turkiye.

Dari perspektif keamanan dalam negeri, Israel juga harus berhitung. Serangan semacam itu jikaoun akan didukung oleh basis politik radikal Tel Aviv, tapi itu akan membuat Israel mengeluarkan anggaran stabilisasi lebih banyak karena Tel Aviv akan praktis menjajah seluruh Suriah.

Israel sebenarnya memiliki preseden panjang dalam operasi targeted killing terhadap tokoh-tokoh lawan, mulai dari pejabat Hamas hingga ilmuwan Iran. Namun, membunuh seorang kepala negara resmi adalah hal yang sangat berbeda, kecuali jika dilakukan diam-diam. Skala dampak politik dan militernya jauh lebih besar dan tidak bisa diprediksi sepenuhnya.

Bila skenario eliminasi itu terjadi, Suriah berpotensi memasuki fase kekacauan baru. Faksi-faksi bersenjata yang selama ini terfragmentasi bisa mencoba merebut peluang kekuasaan. Kurangnya figur pengganti yang kuat akan membuat transisi semakin rapuh, sehingga membuka ruang bagi intervensi asing dalam skala lebih besar.

Amerika Serikat dan sekutu Barat kemungkinan tidak akan merayakan runtuhnya kepemimoinan Al Sharaa begitu saja. Mereka khawatir bahwa kekacauan Suriah akan memicu arus besar pengungsi baru ke Eropa. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa runtuhnya negara tanpa transisi yang jelas bisa menghasilkan kekacauan seperti di Libya setelah jatuhnya Muammar Gaddafi.

Pengungsi Suriah yang mulai kembali ke negaranya tidak akan mempunyai pilihan untuk kembali mengungsi.

Sementara itu, milisi binaan AS dan Israel; SDF Kurdi dan Druze yang juga belum memiliki struktur yang cukup kuat untuk segera mengambil alih pemerintahan. Kondisi ini bisa memunculkan perang saudara babak baru, dengan risiko Suriah terpecah menjadi beberapa zona kendali, memperpanjang penderitaan rakyatnya.

Israel tentu menimbang bahwa eliminasi seorang presiden bukanlah jalan pintas menuju keamanan jangka panjang. Justru sebaliknya, langkah itu bisa memperburuk ancaman yang ada. Oleh karena itu, meskipun Israel memiliki kemampuan untuk melakukannya, keputusan strategis menahan diri menjadi pilihan yang lebih rasional, kecuali jika diminta oleh AS dan Rusia.

Analisis para pengamat menyebut bahwa kebijakan Israel lebih condong pada strategi containment, yaitu melakukan serangan yang menewaskan 10-20 korban di Suriah secara berkala untuk meledek kewibawaan Damaskus yang mau tidak mau harus berdiam diri tak bisa melakukan apa-apa untuk menghentikan serangan atau memberikan perlawanan.

Dalam tataran diplomasi, Israel juga lebih memilih menggalang dukungan dengan negara-negara Arab yang mulai membuka normalisasi hubungan. Menggulingkan pemimpin Suriah secara sepihak akan merusak peluang diplomasi regional yang sedang dibangun, terutama dengan negara-negara Teluk.

Oleh karena itu, skenario eliminasi Ahmad Al Sharaa oleh Israel lebih banyak dibicarakan sebagai kemungkinan teoretis ketimbang rencana nyata. Israel sadar bahwa langkah semacam itu lebih banyak mudarat daripada manfaat dalam mewujudkan ambisi Greater Israel.

Keberadaan Damaskus yang dekat dengan perbatasan Israel memang memberi kesan rentan. Namun dalam realitas politik internasional, kedekatan geografis tidak otomatis membuat langkah eliminasi menjadi pilihan. Pertimbangan strategis jauh lebih dominan dalam perhitungan Tel Aviv.

Dengan demikian, meski skenario ini menarik untuk dianalisis, kenyataannya Israel memilih status quo: melemahkan lawan lewat operasi terbatas, tetapi tetap membiarkan kepemimpinan Suriah bertahan demi menghindari kekacauan besar yang bisa berbalik merugikan semua pihak di kawasan.


Posting Komentar

0 Komentar