Sejarah Danau Toba, sebuah danau vulkanik raksasa yang terletak di Sumatera Utara, selalu menarik perhatian. Cerita rakyat yang paling populer menyebutkan bahwa danau ini terbentuk dari letusan gunung berapi dahsyat dan perpisahan seorang putra dari ayahnya, menurut mitos. Namun, ada satu sudut pandang yang jarang terdengar, sebuah narasi yang didorong warganet menghubungkan nama Toba dengan sejarah Islam awal di Aceh, bahkan jauh sebelum kerajaan-kerajaan Islam besar berdiri di Nusantara.
Narasi ini berakar pada sebuah nama kuno yang berpadu dengan jejak sejarah, yaitu Lam Teuba.
Dalam kajian seorang Guru Besar dari Universitas Syiah Kuala (USK), Prof. Husaini, tersapat nama Lam Teuba dalam sejarah Aceh. Hal itu memicu adanya dugaan keterhubungannya dengan Toba setidaknya secara fenotik. Jadi ini menyangkal anggapan selama ini bahwa Toba berasal dari kata Hatoban atau budak. Toba berasal dari kata Toban atau Towan dan tidak berhubungan dengan Toba.
Dalam penelitiannya, di Aceh terdapat nama tokoh bernama Maharaja Lam Teuba, seorang raja yang memerintah Lamuri dan menerima Islam dari seorang pendakwah Arab pada tahun 754 Masehi. Awalnya, ia mengembangkan ajaran Syiah di wilayahnya, yang kemudian menjadi dasar keberagaman Islam di Aceh.
Lamuri sendiri merupakan sebuah kerajaan kuno yang strategis. Berlokasi di Lamreh Krueng Raya, Aceh Besar, wilayah ini memiliki posisi yang sangat penting di Selat Malaka. Dengan teluk yang landai, pemandangan indah, dan ketersediaan air tawar, Lamuri menjadi persinggahan utama bagi para pedagang dan pendakwah dari Arab yang berlayar ke Asia Tenggara. Di tempat inilah, proses Islamisasi di Nusantara dimulai, jauh sebelum kerajaan-kerajaan lain di Indonesia. Para pendakwah, termasuk yang membawa ajaran Syiah, berkorban demi menyebarkan agama, dan Lamuri menjadi pintu gerbang utamanya.
Sebelum kedatangan Islam, Lamuri adalah kerajaan Hindu-Buddha yang dikuasai oleh tiga dinasti. Dinasti Manteu memerintah di Aceh Besar, kemudian Dinasti Po Liong (mirip nama suku Piliang di Sumatera Barat) yang membawa pengaruh Buddha dari Campa Indo Cina, hingga akhirnya Dinasti Alaiddin. Maharaja Binsih merupakan raja keempat dari dinasti Buddha sebelum Lamuri beralih menjadi kerajaan Islam di bawah kepemimpinan Lam Teuba. Sejarah mencatat bahwa pergeseran ini bukan tanpa rintangan, namun kearifan lokal masyarakat Aceh yang sudah terbiasa dengan tatanan pemerintahan yang baik membuat mereka mudah beradaptasi dengan kepercayaan baru.
Peralihan ini menandai era baru bagi Aceh. Meskipun awalnya Islam yang berkembang adalah aliran Syiah, yang bertahan hingga raja ke-18, namun fondasi Islam di Nusantara telah terbentuk. Fakta ini juga menjelaskan mengapa hingga saat ini, budaya Syiah masih tumbuh dan berkembang di Aceh, menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah keagamaan di Serambi Mekkah. Baru kemudian, Dinasti Po Liang berakhir setelah Putro Ti Seuno, raja ke-18 yang berpemahaman Syiah, menikah dengan Johan Syah. Perkawinan ini menjadi tonggak sejarah baru, di mana Johan Syah diangkat menjadi Sultan Alaiddin Johan Syah, dan Lamuri berubah menjadi Kerajaan Islam Ahlussunnah Waljamaah yang pertama pada tahun 1205. Dari sinilah cikal bakal Kerajaan Aceh yang kita kenal sekarang muncul, dipimpin oleh Dinasti Alaiddin.
Prof. Husaini, dalam penemuan arkeologi terbarunya, menegaskan bahwa Lamuri merupakan situs kerajaan Islam tertua di Asia Tenggara. Penemuan batu nisan, keramik, dan artefak lainnya di Lamreh Krueng Raya menjadi bukti tak terbantahkan. Hal ini menunjukkan bahwa Aceh, khususnya Lamuri, telah memberikan kontribusi besar dalam pengembangan Islam di Nusantara, terutama dalam bidang budaya material. Batu nisan Aceh, dengan seni dan ragam hiasnya yang tinggi, tersebar ke berbagai wilayah dan menjadi penanda jejak Islam.
Lamuri kemudian berpindah ke Kampung Pande (mirip nama kerajaan Pandya dari India yang warganya kemungkinan migrasi ke Aceh), meninggalkan banyak jejak arkeologi yang masih bisa dijumpai hingga kini. Dari sinilah, Islam menyebar ke seluruh penjuru Nusantara, memperlihatkan bagaimana sebuah kerajaan kecil di ujung Sumatera mampu menjadi pusat peradaban dan dakwah. Keberadaan Lam Teuba, seorang raja yang berani menerima Islam dan menyebarkannya, menjadi cikal bakal penting yang tak boleh dilupakan. Ia adalah sosok yang menjadi jembatan antara dua peradaban, antara keyakinan lama dan agama baru.
Ketika kita mendengar nama Toba, mungkin yang terbayang adalah danau yang indah di Sumatera Utara. Namun, dari sudut pandang sejarah Aceh, nama tersebut kemungkinan memiliki makna yang lebih dalam. Toba bisa jadi adalah sebuah jejak, sebuah peninggalan dari masa lalu yang menghubungkan kita dengan Maharaja Lam Teuba, seorang raja yang mengubah takdir Lamuri dan menjadi bagian dari kisah besar Islam di Nusantara. Kisah ini mengajarkan kita bahwa sejarah seringkali lebih kompleks dari yang kita bayangkan, dengan banyak lapisan yang saling terhubung.
Pada akhirnya, Lam Teuba tidak hanya meninggalkan warisan keagamaan, tetapi juga sebuah nama yang mungkin kini terabadikan dalam geografi. Nama ini menjadi pengingat bahwa Islam di Indonesia memiliki akar yang sangat dalam dan beragam. Lam Teuba, atau Toba, adalah bagian dari mozaik sejarah yang besar, sebuah narasi yang tak lekang oleh waktu dan terus menarik untuk dikaji. Ia adalah bukti bahwa sejarah tidak hanya ditulis oleh penaklukan, tetapi juga oleh perjumpaan, adaptasi, dan keberanian para pemimpin yang membuka pintu bagi perubahan.
0 Komentar