Di provinsi Suwaida, Suriah selatan, sebuah perkembangan baru memicu diskusi hangat di kalangan masyarakat lokal dan pengamat regional. Sebanyak 30 faksi bersenjata dilaporkan bergabung membentuk entitas militer baru bernama Pengawal Nasional/Garda Nasional atau Tentara Bersatu. Keputusan ini menandai dinamika baru dalam konflik berkepanjangan Suriah, terutama di kalangan komunitas Druze yang selama ini berusaha menjaga jarak dari pertarungan langsung antara rezim dan oposisi.
Pengawal Nasional lahir dengan dukungan tokoh buronan dari Druze Syekh Hikmat al-Hijri, seorang tokoh spiritual Druze paling kontroversial di Suriah. Dukungan moral dari al-Hijri memberi legitimasi tersendiri bagi kelompok ini, yang mendeklarasikan diri sebagai kekuatan resmi kaum Druze di Suwaida. Misi utama yang diproklamasikan adalah pendirian negara Deuze, kegiatan separatisme dan pembantai kepada warga Arab Badui sebagaimana dilakukan sebelumnya dengan dukungan Israel.
Meski demikian, langkah ini memunculkan perbedaan tajam di kalangan elite dan masyarakat Druze sendiri. Beberapa tokoh, termasuk Laith al-Balous, secara terbuka menentang pendirian entitas militer baru tersebut. Menurutnya, kehadiran Pengawal Nasional justru akan memperdalam fragmentasi, bukan membawa persatuan kepada warga Druze seperti yang diklaim para pendukungnya.
Laith al-Balous bahkan melontarkan kritik keras dengan menyebut Pengawal Nasional sebagai versi baru dari Garda Revolusi Iran, sebuah analogi yang sarat dengan konotasi politis, meski milisi ini merupakan perpanjangan tangan dari proyek neo kolonialisme Greater Israel. Ia menuding sebagian figur yang terlibat dalam pembentukan pasukan ini pernah melakukan praktik penculikan, pemerasan, dan pencurian yang merugikan masyarakat Suwaida. Sebagian besar juga merupakan eks pengikut rejim Bashar Al Assad.
Perbandingan yang lebih jauh datang dari sejumlah pengamat lokal dan media Arab. Mereka menilai apa yang terjadi di Suwaida saat ini seperti mengulang sejarah milisi Tentara Lebanon Selatan (South Lebanon Army/SLA) di Lebanon beberapa dekade silam, yang mendirikan State of Free Lebanon untuk membantai pengungsi Palestina.
Peristiwa pembantaian Shabra dan Shatila terjadi pada 16–18 September 1982 di dua kamp pengungsi Palestina di Beirut Barat, Lebanon.
Pembantaian dilakukan oleh milisi Phalangis Kristen (Lebanese Forces/Kataeb Party militia) yang masuk ke kamp Shabra dan Shatila dengan restu Israel. Pasukan Israel, yang saat itu menduduki Beirut, mengepung kamp dan memberi izin milisi Phalangis untuk masuk, dengan dalih mencari pejuang Palestina yang masih bersembunyi. Dalam kenyataannya, ribuan warga sipil Palestina dan warga Syiah Lebanon dibantai.
Analogi ini tidak lepas dari fakta bahwa SLA juga lahir sebagai milisi lokal dengan klaim melindungi wilayah tertentu, namun kemudian berakhir dengan bubarnya organisasi tersebut setelah penarikan pasukan Israel.
SLA, yang berdiri pada masa perang saudara Lebanon, beroperasi di bawah dukungan Israel. Mereka menguasai zona keamanan di Lebanon Selatan hingga tahun 2000. Namun begitu Israel menarik diri, SLA runtuh hanya dalam hitungan hari. Sebagian besar anggotanya melarikan diri ke Israel, sementara sisanya menghadapi pengadilan di Lebanon. Kisah inilah yang kini dijadikan cermin oleh banyak kalangan dalam menilai masa depan Pengawal Nasional di Suwaida.
Bagi masyarakat Druze yang sangat menjaga identitas dan otonomi, pendirian entitas militer semacam ini bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ada ilusi pasukan tersebut akan memberikan perlindungan dari ancaman kelompok bersenjata maupun kriminal. Namun di sisi lain, ada ketakutan bahwa mereka justru akan menyeret komunitas Druze ke dalam konflik lebih luas, seperti pembantaian warga Arab Badui yang menguntungkan Israel.
Selain itu tekanan Israel dan AS agar Damaskus menarik diri dari Suwaida yang sedang mendamaikan perang Druze vs Arab Badui disinyalir merupakan bagian dari strategi AS memberi ruang kepada Druze memperkuat diri sehingga Damaskus menjadi terkepung dari dua sisi; SDF Kurdi di Timur Suriah dan Druze di Selatan.
Akibatnya ketika Israel membantai tentara Suriah di dekat Damaskus sebagaimana terjadi beberapa hari lalu, Suriah tidak bisa melakukan apa-apa, karena milisi SDF Kurdi dan Druze sudah siap menikam dari belakang melalui dua arah.
Situasi semakin rumit karena sebagian petinggi Druze merupakan bagian dari kabinet dan pejabat tinggi di pemerintahan Presiden Ahmed Al Sharaa saat ini.
Mereka berusaha menjaga hubungan yang seimbang dengan pemerintah Damaskus, namun juga menolak dominasi kelompok ekstremis. Dengan lahirnya Pengawal Nasional, posisi netral itu terancam berubah menjadi komitmen militer yang bisa mengundang intervensi dari pihak luar.
Perdebatan di Suwaida juga memperlihatkan perbedaan pandangan generasi. Sebagian pemuda radikal Druze melihat Pengawal Nasional sebagai wadah kebanggaan dan simbol kekuatan baru. Namun generasi tua lebih berhati-hati, mengingat trauma sejarah perang saudara Lebanon dan konflik internal Suriah serta konsekuensi keterlibatan politik yang terlalu jauh.
Kehadiran buronan hukum Syekh Hikmat al-Hijri sebagai sponsor moral membuat Pengawal Nasional memiliki legitimasi spiritual yang tidak bisa diremehkan. Namun kehadiran figur karismatik seperti Laith al-Balous yang menolak keras juga membuat organisasi ini sulit memperoleh konsensus. Perselisihan di kalangan pemimpin spiritual dan militer Druze berpotensi melemahkan kohesi komunitas itu sendiri.
Selain faktor internal, dinamika eksternal juga memengaruhi. Israel dan di belakangnya AS dkk terus berupaya agar Suriah tidak pernah bersatu sehingga masing-masing kelompok terus-menerus saling bantai membantai meski di depan umum selalu menyatakan mendukung persatuan Suriah secara diplomatis. Ada kekhawatiran bahwa Suwaida bisa berubah menjadi zona bentrokan baru, sebagaimana Lebanon Selatan pada masa lalu dan itu memang keinginan Israel.
Sejumlah analis menegaskan bahwa analogi dengan SLA bukan sekadar perbandingan sejarah, melainkan peringatan. SLA runtuh karena terlalu bergantung pada dukungan eksternal. Jika Pengawal Nasional tidak mampu mandiri dan hanya bergantung pada patron tertentu, maka mereka bisa mengulang nasib serupa: kuat sesaat, lalu hancur dan ditinggalkan.
Namun, tidak sedikit pula yang melihat Pengawal Nasional sebagai bentuk adaptasi komunitas Druze terhadap realitas keamanan di Suriah. Dengan lemahnya kontrol pemerintah di banyak daerah, membentuk pasukan lokal dianggap langkah pragmatis untuk menekan Damaskus dengan proyek separatisme yang bisa dijual kepada pemain global.
Pemerintah Damaskus sendiri belum mengeluarkan sikap resmi yang tegas. Meski demikian, muncul kekhawatiran bahwa kelompok militer independen seperti Pengawal Nasional akan dianggap ancaman terhadap otoritas pusat. Jika itu terjadi, Suwaida berpotensi menghadapi konfrontasi langsung dengan rezim Suriah.
Di sisi lain, kelompok SDF Kurdi yang sedari awal memang sedang mencari kawan baru menyambut dengan setengah hati. Mereka melihat potensi bahwa Pengawal Nasional bisa menjadi mitra, namun juga menyadari adanya risiko rivalitas baru. Posisi ambigu ini membuat masa depan aliansi politik dan militer semakin tidak menentu.
Perbandingan dengan SLA juga memperkuat narasi bahwa milisi berbasis komunitas sering kali berakhir tragis. Ketiadaan legitimasi internasional, keterbatasan sumber daya, dan ketergantungan pada figur tertentu membuat daya tahannya rapuh.
Di kalangan masyarakat Suwaida, diskusi mengenai “ulangnya sejarah SLA” menjadi perdebatan sehari-hari. Sebagian merasa khawatir akan stigma dan kehancuran, sementara sebagian lain yakin bahwa Druze bisa menciptakan model berbeda yang lebih berkelanjutan mengikuti langkah SDF Kurdi yang mempecundangi Damaskus di berbagai momen diplomatik.
Apa yang terjadi di Suwaida kini jelas menjadi babak baru dalam mozaik konflik Suriah. Apakah Pengawal Nasional akan mampu mendirikan negara Druze yang terpisah atau sekadar pengulangan dari kisah tragis SLA dan perpanjangan tangan proyek Neo Kolonialisme Greater Israel? jawabannya masih menunggu waktu.
Yang pasti, perdebatan internal yang tajam menunjukkan bahwa masa depan Druze di Suriah sedang berada di persimpangan jalan. Jalan mana yang akan ditempuh, akan sangat menentukan apakah komunitas ini bisa bertahan sebagai kekuatan mandiri, atau justru menjadi bagian dari catatan kelam sejarah seperti halnya Tentara Lebanon Selatan.
Dengan segala ketidakpastian itu, Suwaida kini menjadi sorotan baru di peta konflik Suriah. Sebuah wilayah kecil yang bisa menentukan arah besar perjalanan politik dan militer di kawasan selatan negeri itu.
0 Komentar