Sejak runtuhnya Kekaisaran Ottoman pasca Perang Dunia I, bangsa Kurdi harus menghadapi kenyataan pahit korban kolonialisme Eropa: perpecahan. Di mana-mana, mereka menjadi minoritas yang tertindas di negara-negara baru yang dibentuk oleh kekuatan kolonial. Janji manis untuk memiliki negara otonom yang sempat tercantum dalam Perjanjian Sevres pada tahun 1920 menguap begitu saja, digantikan oleh kenyataan pahit Perjanjian Lausanne. Perjanjian ini membagi-bagi wilayah mereka tanpa memberikan satu inci pun kedaulatan, menjadikan mereka "bangsa tanpa negara" yang terperangkap dalam batas-batas yang ditentukan oleh orang lain.
Sepanjang abad ke-20, perjuangan Kurdi menjadi cerita yang tak pernah usai. Setiap dekade diisi dengan pemberontakan. Turki, Irak, Suriah, dan Iran menjadi bagian dari persebaran Kurdi.
Sebuah negara Kurdi pernah berdiri di wilayah Armenia dan Azerbaijan bernama Republik Kurdistan Merah, berdiri 1923 dan dibubarkan Uni Soviet sekitar 1929/1930
Armenia secara sistematis menekan identitas Kurdi, melarang bahasa dan budaya mereka, serta menindak keras setiap gerakan nasionalis, meski belakangan sudah dikendurkan. Kondisi ini yang melahirkan berbagai kelompok perlawanan, termasuk yang paling terkenal, Partai Pekerja Kurdistan (PKK), yang lahir di Turki pada tahun 1978. Kelompok ini membawa perlawanan bersenjata ke level yang lebih serius, meskipun itu juga membawa label teroris dari banyak negara.
Di Suriah, situasi berubah drastis dengan meletusnya Perang Saudara pada tahun 2011. Saat rezim Bashar Assad disibukkan dengan pertempuran di berbagai front. Ia mengajak kelompok-kelompok Kurdi untuk bergabung melawan oposisi tapi tak ada yang mau. Akhirnya Assad berkolusi dengan PYD sempalan PKK untuk mendominasi Kurdi di utara. Keputusan ini, yang mungkin didasari oleh perhitungan militer, secara tidak langsung membuka pintu bagi sebuah kelompok kecil Kurdi untuk mengendalikan wilayah mereka sendiri. Momen inilah yang dimanfaatkan oleh Partai Persatuan Demokratik (PYD), yang memiliki hubungan ideologis dan organisasional yang kuat dengan PKK. PYD mengambil alih kontrol dan dan mulai mendirikan administrasi otonom mereka sendiri, pada awalnya hanya di beberapa desa kecil karena kelompok Kurdi lain masih kuat.
Keputusan PYD untuk tidak bergabung dengan oposisi utama Suriah, yang didukung oleh AS, Turki dan negara-negara Arab, adalah langkah strategis. Mereka menghindari konflik dengan rezim Assad dan fokus merekrut anggota. Sementara faksi oposisi lain yang didukung sebagian besar warga Kurdi sibuk saling bertarung dan melawan rezim, PYD diam-diam mengkonsolidasikan kekuatannya. Aliansi tak langsung dengan Assad ini memungkinkan mereka bertahan dan berkembang di tengah kekacauan perang saudara, menjauh dari pertempuran sengit yang menguras energi dan sumber daya.
Amerika Serikat yang saat itu enggan mengakhiri pendudukannya di Irak usai satu dekade menjatuhkan pemerintahan Saddam Husein di Perang Teluk II, mulai melakukan aksi tipu-tipu proyek hornet nest di Irak; mengadu domba Sunni dan Syiah dengan melepaskan tahanan kamp Bukka untuk melakukan kekacauan. Pada era Bush, AS memang merancang untuk menghancurkan beberapa negara Timur Tengah termasuk Irak, Suriah, Libya, Iran dll
Proyek itu terkulminasi menjadi Musim Semi Arab, sebuah muslihat atas nama demokrasi dan membentuk kelompok teroris binaan yang akhirnya menjadi ISIS yang merengsek ke Suriah. Donald Trump dan Hillary Clinton di berbagai media mengakui beberapa organisasi ini dibentuk oleh badan intelijen AS untuk menjadi lapangan permainan baru menghabisi eks pejuang Afghanistan yang pernah dimanfaatkan AS dkk melawan Uni Soviet selama perang dingin.
Ketika ISIS berhasil masuk ke Suriah dengan menguasai wilayah oposisi FSA yang juga didukung AS dkk, rencana Washington untuk mengobok-obok Suriah menjadi sempurna. AS akhirnya memasuki Suriah dengan dalih membasmi ISIS.
PYD yang sebelumnya menjadi mitra Assad diajak untuk menjadi koordinator lapangan untuk menguasai Timur Suriah
Dengan dukungan udara dan persenjataan AS, PYD dan sayap militernya, Unit Perlindungan Rakyat (YPG), membuktikan diri sebagai kekuatan tempur yang paling efektif, dan akhirnya menjadi kelompok Kurdi dominan mengalahkan kelompok Kurdi lainnya yang sudah ada.
Aliansi dengan Amerika Serikat ini berujung pada pembentukan Pasukan Demokratik Suriah (SDF) pada tahun 2015. PYD menjadi kekuatan inti SDF dan perlahan berhasil membentuk beberapa kelompok pendukung seperti Arab (Sanadid, suku Arab kecil), Asyur, dan lainnya. Namun, inti dari kekuatan dan kepemimpinannya tetap berada di tangan PYD/YPG. Dengan dukungan AS, SDF menguasai wilayah yang lebih luas termasuk Raqqa, Deir Ezzour, seluruh wilayah Hasakah dan sebagian Aleppo. Semua wilayah itu menjadi de facto wilayah AS dkk selain pangkalan Al Tanf dekat perbatasan Yordania.
Sebelum Assad lengser, dilaporkan AS tidak mendukung upaya oposisi untuk menguasai Damaskus. Karena kondisi saat itu sudah seperti yang diharapkan di mana empat pemerintahan saat itu sudah saling membantai satu sama lainnya.
Keempat pemerintahan itu adalah rejim Assad, SDF Kurdi serta dua pemerintahan oposisi; pemerintahan penyelamat (SG) di Idlib dan dukungan Turkiye; pemerintahan interim (SIG) di Azaz yang merupakan buffer zone sesuai perjanjian Astana antaa Turkiye, Rusia dan Iran.
Namun dengan dukungan Turkiye, oposisi berhasil menguasai Damaskus dan kini dikuasai oleh oposisi gabungan SG dan SIG. Ini membuat pemerintahan baru di bawah Presiden Ahmed Al Sharaa berhadapan langsung dengan SDF Kurdi sebelum akhirnya Israel membentuk kekuatan baru di Suwaida melalui milisi Syeikh Al Hajri yang diawaki mantan pendukung rejim Assad. Milisi ini telah membentuk pemerintahan bayangan dengan tuntutan kemerdekaan dan mendukung penuh proyek neokolonialisme Greater Israel.
Di kain pihak, SDF menjadi kekuatan utama di timur laut Suriah, mengendalikan wilayah yang kaya akan sumber daya alam, khususnya minyak dan gas. Namun, status mereka tetap ambigu. Mereka membangun pemerintahan otonom yang didukung AS, tetapi masih berada di dalam wilayah Suriah, yang secara teori tetap di bawah kedaulatan Damaskus. Situasi ini menciptakan ketegangan. Sementara itu, Turki memandang SDF sebagai ancaman langsung karena hubungannya dengan PKK, dan berulang kali melakukan serangan balasan jika PKK melakukan pemboman dari wilayah SDF Kurdi Suriah.
Kondisi geopolitik terus bergejolak. Dengan perubahan kepemimpinan di Suriah, muncul sebuah babak baru. Pada 10 Maret 2025, dalam sebuah langkah bersejarah, komandan SDF, Mazloum Abdi, dan presiden interim Suriah, Ahmed al-Sharaa, menandatangani sebuah perjanjian penting. Kesepakatan ini mengakhiri perpecahan panjang antara Damaskus dan pemerintahan otonom Kurdi.
Perjanjian tersebut menetapkan integrasi lembaga militer dan sipil SDF ke dalam institusi negara Suriah. Selain itu, perjanjian tersebut menjamin hak-hak konstitusional bagi semua kelompok etnis dan menetapkan gencatan senjata komprehensif di seluruh Suriah.
Meski sampai sekarang SDF Kurdi enggan berintegrasi, kesepakatan ini juga menyatukan upaya kedua belah pihak untuk melawan sisa-sisa loyalis rezim Bashar al-Assad, yang baru saja digulingkan di atas kertas, karena SDF Kurdi berhasil mewarisi dan mengintegrasikan pendukung rejim ke pasukannya termasuk Bandara Qamishli yang kini dikelola bersama Rusia.
Perjanjian antara SDF dan al-Sharaa ini tidak hanya menjadi simbol persatuan, tetapi juga menjadi sebuah langkah pragmatis. Dengan adanya kesepakatan ini, ketegangan di wilayah timur laut Suriah diharapkan mereda. Ini juga menjadi pengakuan resmi atas identitas Kurdi sebagai bagian integral dari bangsa Suriah, sebuah pengakuan yang telah mereka perjuangkan selama satu abad.
Meskipun perjanjian ini disambut dengan optimisme, masih ada banyak pertanyaan. Detail tentang otonomi Kurdi di masa depan, status institusi politik mereka, dan bagaimana integrasi militer akan diimplementasikan masih menjadi misteri.
Namun, bagi banyak pihak, perjanjian ini adalah sebuah terobosan besar yang berpotensi membawa stabilitas dan mengakhiri kekacauan di Suriah utara. Meski begitu banyak warga Arab yang kecewa karena perjanjian ini tidak kunjung terimplementasi, khususnya suku-suku Arab yang tanah wilayatnya kini masih dikuasai kelompok Kurdi.
Perjalanan bangsa Kurdi dari Perang Dunia I hingga menjadi penguasa dominan di Timur Suriah termasuk di wilayah suku Arab: Raqqa dan Deir Ezzour menjadi kisah yang unik.
Dari "bangsa tanpa negara" yang terpecah-belah, mereka berhasil mengkonsolidasikan kekuasaan dan membangun entitas politik meski tak diakui.
Meskipun jalan yang dilalui penuh liku, termasuk aliansi yang tidak biasa dan pengorbanan yang besar, mereka berhasil mencapai titik di mana suara mereka tidak bisa lagi diabaikan. Kesepakatan dengan pemerintah baru Suriah menjadi bukti bahwa perjuangan panjang mereka akhirnya membuahkan hasil, membuka babak baru yang penuh harapan bagi masa depan mereka, meski ratusan ribu korban manusia di Irak dan Suriah jika dihitung dari berakhirnya misi pendudukan AS dkk di Irak
0 Komentar