Juba—Masa depan Sudan Selatan kembali diselimuti ketidakpastian setelah penahanan mantan Wakil Presiden dan pemimpin oposisi, Riek Machar, pada Maret 2025. Peristiwa ini memicu kekhawatiran meluas di kalangan komunitas internasional bahwa negara termuda di Afrika ini bisa kembali terjerumus ke dalam perang saudara yang mematikan. Penahanan Machar, yang dilakukan oleh pasukan pemerintah yang dipimpin Presiden Salva Kiir, secara efektif membongkar fondasi rapuh dari perjanjian damai tahun 2018 yang bertujuan untuk mengakhiri konflik bertahun-tahun.
Perkembangan tragis ini merupakan puncak dari ketegangan yang telah memanas selama berbulan-bulan.
Perjanjian damai yang ditandatangani oleh Kiir dan Machar bertujuan untuk menyatukan faksi-faksi yang bertikai, namun implementasinya terus terhambat oleh persaingan politik dan ketidakpercayaan mendalam. Perjanjian ini menyediakan jalan bagi pembentukan pemerintahan persatuan, di mana Machar kembali menjabat sebagai Wakil Presiden Pertama. Namun, penangkapannya, dengan tuduhan merencanakan pemberontakan, secara telak merusak semua kemajuan yang telah dicapai.
Runtuhnya Stabilitas dan Masa Depan yang Tak Pasti
Penangkapan Machar memiliki dampak langsung dan serius. Kelompok oposisinya, Sudan People’s Liberation Movement-in-Opposition (SPLM-IO), segera mendeklarasikan bahwa penahanan tersebut membatalkan seluruh perjanjian damai. Pernyataan ini secara efektif mengakhiri kerja sama politik yang ada, memicu kekhawatiran akan kembalinya kekerasan skala besar. Meskipun pemerintah bersikeras bahwa perjanjian damai masih berlaku, tindakan mereka sendiri telah menunjukkan bahwa pemerintahan persatuan yang seharusnya ada tidak lagi berfungsi.
Krisis ini diperparah oleh laporan peningkatan bentrokan antara pasukan pemerintah dan milisi White Army, sebuah kelompok bersenjata yang terkait dengan etnis Nuer, kelompok yang sama dengan Machar. Kekerasan yang kian memuncak ini kembali mengancam warga sipil yang telah menderita selama bertahun-tahun. Organisasi-organisasi internasional seperti PBB telah memperingatkan bahwa Sudan Selatan berada di ambang bencana, mendesak semua pihak untuk menahan diri demi mencegah pertumpahan darah lebih lanjut.
Siapa Pimpinan Oposisi dan Wakil Presiden Saat Ini?
Setelah penahanan Riek Machar, SPLM-IO tidak lagi memiliki pimpinan yang jelas di posisi pemerintahan. Ia sendiri yang masih diakui oleh pengikutnya sebagai pemimpin oposisi yang sah. Adapun jabatan Wakil Presiden Pertama yang sebelumnya dipegang olehnya kini menjadi kosong atau kemungkinan diisi oleh tokoh dari faksi pemerintah yang loyal kepada Presiden Salva Kiir. Posisi ini, beserta kekosongan kekuasaan lainnya, menimbulkan pertanyaan besar tentang bagaimana negosiasi atau proses perdamaian di masa depan dapat berjalan. Tanpa pimpinan oposisi yang diakui dan dapat dipercaya, masa depan politik Sudan Selatan tetap suram.
UNMISS dan Jalan Panjang Damai Sudan Selatan
Penahanan Riek Machar pada Maret 2025 telah mengguncang fondasi rapuh perdamaian Sudan Selatan. Tindakan pemerintah Juba itu tidak hanya memicu ketidakpastian politik, tetapi juga menghidupkan kembali trauma lama perang saudara yang pernah meluluhlantakkan negeri termuda di Afrika. Di tengah situasi kritis ini, perhatian dunia tertuju pada Misi PBB untuk Sudan Selatan atau UNMISS, yang kini menghadapi tantangan berat untuk menjaga agar negara ini tidak kembali tenggelam dalam kekerasan.
UNMISS didirikan sejak 2011 untuk mendukung stabilitas setelah Sudan Selatan meraih kemerdekaan. Mandatnya mencakup perlindungan warga sipil, pemantauan hak asasi manusia, serta dukungan terhadap proses perdamaian. Namun, realitas di lapangan selalu jauh lebih kompleks. Penahanan Machar menegaskan bahwa rekonsiliasi politik belum benar-benar mengakar, dan UNMISS dituntut berperan lebih aktif untuk menjembatani perpecahan baru yang mengancam.
Salah satu langkah yang diandalkan UNMISS adalah mendorong dialog inklusif antar faksi. Dengan Machar berada dalam tahanan, posisi oposisi menjadi lemah dan terfragmentasi. UNMISS diharapkan memfasilitasi pertemuan antara pemerintah, SPLM-IO, serta kelompok masyarakat sipil untuk menghindari kekosongan komunikasi. Tanpa jalur dialog yang jelas, risiko kembalinya perang semakin besar.
Selain itu, UNMISS menempatkan prioritas pada perlindungan warga sipil. Ribuan orang kini mencari perlindungan di sekitar basis PBB akibat meningkatnya bentrokan antara pasukan pemerintah dan kelompok White Army. Dengan kekuatan sekitar 17 ribu personel, pasukan penjaga perdamaian harus berperan sebagai tameng terakhir bagi masyarakat sipil yang terjebak di antara konflik politik elit.
UNMISS juga memainkan peran vital dalam membangun kepercayaan antar komunitas. Sudan Selatan terbagi oleh garis etnis yang tajam, terutama antara kelompok Dinka dan Nuer. Penahanan Machar, seorang Nuer, dikhawatirkan memperlebar jurang perpecahan ini. Melalui program rekonsiliasi lokal, UNMISS berupaya mempertemukan para pemimpin tradisional, tokoh agama, dan organisasi perempuan untuk meredam ketegangan di akar rumput.
PBB menyadari bahwa perdamaian tidak dapat dipaksakan dari luar. Karena itu, UNMISS menekankan pendekatan berbasis komunitas. Dukungan bagi inisiatif lokal, mulai dari mekanisme penyelesaian sengketa adat hingga mediasi desa, dipandang lebih efektif daripada hanya mengandalkan perjanjian politik tingkat tinggi yang rentan gagal.
Namun, tantangan terbesar tetap datang dari dinamika politik nasional. Presiden Salva Kiir menegaskan bahwa perjanjian damai 2018 masih berlaku, meski tindakan pemerintahannya justru melemahkan isi perjanjian itu sendiri. UNMISS harus menavigasi situasi penuh kontradiksi ini, menjaga hubungan baik dengan pemerintah, sambil tetap menekan agar prinsip perdamaian tidak diabaikan.
Komunitas internasional, termasuk Uni Afrika dan IGAD, diperkirakan akan bekerja sama erat dengan UNMISS. Keterlibatan regional penting untuk memastikan bahwa krisis Sudan Selatan tidak menular ke negara tetangga seperti Uganda, Ethiopia, dan Sudan. UNMISS bertindak sebagai penghubung, memastikan koordinasi antar aktor regional agar tekanan diplomatik terhadap Juba berjalan efektif.
Selain diplomasi, UNMISS juga berperan dalam mendukung pemilu yang direncanakan. Pemilu yang adil dan inklusif dianggap kunci untuk mengakhiri ketidakpastian politik. Namun, dengan oposisi terbelah dan kepercayaan publik rendah, UNMISS menghadapi tugas sulit memastikan partisipasi yang luas dan mencegah manipulasi.
Perhatian khusus juga diberikan pada kelompok rentan. Perempuan dan anak-anak menjadi korban terbesar konflik Sudan Selatan. UNMISS bekerja sama dengan badan-badan PBB lainnya untuk memberikan perlindungan, layanan kesehatan, dan pendidikan dasar di tengah kondisi keamanan yang memburuk.
Meskipun demikian, skeptisisme tetap kuat. Banyak warga Sudan Selatan memandang UNMISS tidak cukup tegas dalam menghadapi elit politik yang kerap melanggar kesepakatan. Kritik ini memaksa misi perdamaian untuk mengevaluasi strategi, meningkatkan kehadiran lapangan, dan memperkuat keterlibatan langsung dengan masyarakat.
Perkembangan terbaru menunjukkan bahwa bentrokan di beberapa provinsi semakin intensif. Hal ini menegaskan urgensi peran UNMISS dalam mencegah eskalasi. Tanpa langkah cepat, konflik lokal bisa berkembang menjadi perang saudara nasional, seperti yang pernah terjadi pada 2013 dan 2016.
UNMISS juga harus menghadapi keterbatasan sumber daya. Dengan mandat luas dan wilayah negara yang sangat besar, pasukan penjaga perdamaian seringkali kewalahan. Dukungan logistik dan politik dari Dewan Keamanan PBB sangat dibutuhkan agar misi dapat berfungsi optimal.
Kunci keberhasilan UNMISS terletak pada kemampuannya menyeimbangkan dua hal: menjaga netralitas sekaligus menegakkan akuntabilitas. Jika misi hanya menjadi penonton, maka perdamaian akan runtuh. Namun jika terlalu keras terhadap pemerintah, hubungan kerja bisa terganggu. Jalan tengah inilah yang menuntut diplomasi cermat.
Sejumlah analis berpendapat bahwa masa depan Sudan Selatan bergantung pada kesediaan elit politik untuk menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi. UNMISS hanya bisa membantu, namun keputusan akhir tetap berada di tangan Kiir, Machar, dan para tokoh lainnya.
Peran masyarakat internasional dalam mendukung UNMISS juga krusial. Bantuan finansial, dukungan teknis, dan solidaritas politik akan memperkuat legitimasi misi perdamaian. Tanpa dukungan global, Sudan Selatan berisiko menjadi krisis terlupakan.
Dalam konteks yang lebih luas, krisis Sudan Selatan mengingatkan bahwa perdamaian bukan sekadar hasil perjanjian, tetapi proses panjang yang menuntut komitmen konsisten. UNMISS kini menjadi garda terdepan dalam menjaga agar proses itu tidak terhenti.
Jalan menuju perdamaian jelas tidak mudah. Penahanan Machar membuka babak baru yang penuh ketidakpastian. Namun dengan kombinasi mediasi politik, perlindungan sipil, dan rekonsiliasi lokal, UNMISS masih memiliki peluang untuk mencegah runtuhnya Sudan Selatan.
Masa depan negara ini akan diuji dalam beberapa bulan ke depan. Jika kekerasan bisa ditekan dan dialog kembali dibuka, ada harapan bagi Sudan Selatan untuk keluar dari lingkaran perang. Jika tidak, sejarah kelam mungkin akan berulang.
UNMISS, bersama rakyat Sudan Selatan, kini berdiri di persimpangan sejarah. Keberhasilan atau kegagalan misi ini akan menentukan apakah negara muda itu bisa bertahan sebagai sebuah bangsa, atau kembali larut dalam tragedi yang pernah nyaris memusnahkannya.
0 Komentar