Wacana proklamasi kemerdekaan sepihak oleh Southern Transitional Council (STC) kembali memunculkan skenario politik paling ekstrem dalam konflik Yaman. Jika langkah itu benar-benar diambil, maka peta konflik tidak serta-merta terbelah menjadi Utara dan Selatan, melainkan justru membuka peluang realignment kekuasaan yang selama ini dianggap mustahil: penyatuan kembali kubu pro-persatuan, termasuk kemungkinan kerja sama antara Presidential Leadership Council (PLC) dan Houthi.
Dalam logika politik darurat, deklarasi kemerdekaan STC akan menjadi ancaman eksistensial bagi semua faksi yang masih berpegang pada ide Yaman bersatu. Baik PLC, yang selama ini menjadi payung pemerintahan internasional, maupun Houthi, yang menguasai sebagian besar Utara, memiliki kepentingan yang sama untuk mencegah preseden pemisahan wilayah secara permanen.
Situasi ini menciptakan ruang bagi apa yang disebut sebagai tactical realignment, yakni penyelarasan sementara antara dua musuh lama demi menghadapi ancaman yang lebih besar. Dalam hal ini, separatisme Selatan menjadi musuh bersama yang dapat memaksa PLC dan Houthi menunda konflik mereka sendiri.
Bagi PLC, kemerdekaan STC berarti kehilangan wilayah strategis, pelabuhan, dan sumber daya energi di Selatan. Lebih jauh, hal itu akan menghancurkan klaim PLC sebagai satu-satunya otoritas sah Yaman di mata internasional. Ancaman ini jauh lebih konkret dibanding dominasi Houthi di Utara yang selama ini masih bisa dinegosiasikan dalam kerangka politik.
Sementara bagi Houthi, proklamasi STC akan merusak narasi ideologis mereka tentang kedaulatan Yaman secara utuh. Gerakan ini sejak awal memosisikan diri bukan sekadar sebagai aktor regional, melainkan sebagai penguasa sah seluruh Yaman. Negara Selatan merdeka akan menjadi penghalang permanen bagi ambisi tersebut.
Dalam skenario pertama, PLC dan Houthi tidak perlu membentuk koalisi formal. Gencatan senjata permanen di garis depan Utara sudah cukup untuk memungkinkan kedua pihak mengalihkan fokus ke Selatan. Operasi militer terhadap wilayah penyangga seperti Abyan, Shabwa, dan Hadramaut dapat dilakukan secara paralel tanpa koordinasi terbuka.
Namun, jika tekanan politik dan militer semakin besar, opsi pembentukan pemerintahan baru bisa mengemuka. PLC saat ini dapat dibubarkan dan digantikan oleh dewan kepemimpinan nasional yang lebih luas, dengan agenda tunggal mempertahankan keutuhan wilayah Yaman. Dalam format ini, Houthi akan menuntut posisi sentral.
Masalahnya, Houthi hampir tidak pernah mau menjadi mitra setara. Setiap kompromi yang mereka terima biasanya bersifat sementara dan digunakan untuk menguatkan posisi internal. Ini membuat faksi-faksi dalam PLC, khususnya Islah dan loyalis General People’s Congress, sangat waspada terhadap jebakan politik semacam itu.
Sebagai jalan tengah, muncul wacana alternatif berupa sistem presidensi bergilir seperti di Bosnia dan Herzegovina. Dalam skema ini, kepemimpinan nasional diisi oleh tiga figur dari kubu berbeda: Houthi, Islah, dan GPC. Tujuannya bukan rekonsiliasi ideologis, melainkan keseimbangan kekuasaan untuk menghadapi STC.
Model ini secara teoritis memungkinkan tanpa mengubah peta kekuasaan militer di lapangan. Houthi tetap menguasai Utara, PLC mempertahankan wilayah tengah, dan fokus utama diarahkan untuk menekan Selatan agar tidak lepas sepenuhnya. Namun, penerapan model Bosnia di Yaman yang penuh milisi bersenjata sangatlah rapuh.
Hambatan terbesar tetap pada ketidakpercayaan. Perang hampir satu dekade telah meninggalkan luka mendalam. Sulit membayangkan pasukan Islah atau brigade loyalis Tareq Saleh berbagi meja, apalagi garis komando, dengan Houthi yang selama ini mereka lawan mati-matian.
Faktor eksternal juga krusial. Uni Emirat Arab sebagai pendukung utama STC hampir pasti akan memveto skenario ini. Jika PLC bersekutu dengan Houthi untuk menghantam STC, Abu Dhabi berpotensi menghentikan dukungan finansial dan logistik, yang bisa melumpuhkan wilayah pemerintah secara ekonomi.
Arab Saudi berada di posisi lebih ambigu. Riyadh tidak menginginkan Yaman terpecah, tetapi juga sangat berhati-hati terhadap legitimasi Houthi. Dalam kondisi ekstrem, Saudi mungkin mendorong dialog darurat PLC-Houthi sebagai opsi terburuk demi mencegah kemerdekaan Selatan.
Pernyataan keras sejumlah pejabat pemerintah Yaman terhadap STC dalam beberapa waktu terakhir dapat dibaca sebagai sinyal ancaman politik. Pesannya sederhana: jika Selatan memisahkan diri, maka musuh lama di Utara bisa dijadikan sekutu sementara.
Ancaman ini ditujukan untuk meningkatkan biaya politik bagi STC. Elit Selatan dihadapkan pada dilema apakah kemerdekaan layak diperjuangkan jika konsekuensinya adalah menghadapi front nasional yang mencakup Houthi sekaligus PLC.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa koalisi semacam itu akan sangat rapuh dan bersifat sementara. Begitu ancaman STC mereda atau gagal, konflik internal antara PLC dan Houthi hampir pasti akan muncul kembali dengan intensitas yang lebih besar.
Bagi Houthi, kerja sama ini hanyalah alat taktis untuk memperluas legitimasi dan menekan lawan. Bagi PLC, ini adalah upaya bertahan hidup dalam situasi darurat. Tidak ada fondasi ideologis atau kepercayaan jangka panjang di antara keduanya.
Dengan demikian, proklamasi kemerdekaan STC bukan hanya soal Selatan melawan Utara, tetapi berpotensi memicu restrukturisasi besar konflik Yaman. Aliansi yang selama ini dianggap mustahil bisa muncul, meski dalam bentuk paling rapuh sekalipun.
Pertanyaannya kini bukan apakah skenario PLC-Houthi mungkin terjadi, melainkan apakah STC siap menanggung risiko memicu penyelarasan musuh-musuh lamanya. Dalam politik Yaman, setiap langkah besar hampir selalu menghasilkan konsekuensi yang tak terduga.
0 Komentar