Penunjukan Somalia sebagai Presiden Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Januari 2025 memicu gelombang komentar sinis di media sosial internasional. Sejumlah figur publik dan warganet menilai posisi tersebut tidak layak diemban oleh negara yang masih menghadapi tantangan keamanan domestik. Namun, narasi semacam itu dinilai tidak elok dan cenderung merendahkan prinsip dasar sistem multilateral PBB.
Presidensi Dewan Keamanan PBB bukanlah jabatan eksekutif permanen, melainkan posisi prosedural yang digilir setiap bulan di antara 15 negara anggota berdasarkan urutan abjad. Somalia mendapatkan giliran tersebut secara otomatis, sama seperti negara lain sebelumnya, tanpa mekanisme seleksi politik atau penilaian kapasitas nasional.
Komentar yang meledek Somalia karena kondisi dalam negerinya menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap tata kerja Dewan Keamanan. Presiden DK PBB tidak memiliki kewenangan untuk mengendalikan kebijakan global secara sepihak, melainkan bertugas memimpin sidang, mengatur agenda, dan memfasilitasi konsensus di antara anggota.
Dalam sejarah PBB, banyak negara dengan tantangan internal—baik konflik, krisis ekonomi, maupun transisi politik—pernah menduduki posisi presidensi DK PBB. Hal tersebut tidak pernah dipersoalkan secara serius karena dianggap sebagai bagian dari kesetaraan kedaulatan antarnegara anggota.
Meledek Somalia juga berpotensi mengaburkan fakta bahwa negara tersebut saat ini adalah anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB yang terpilih melalui pemungutan suara Majelis Umum. Keanggotaan ini merupakan pengakuan diplomatik atas peran dan komitmen Somalia di tingkat internasional.
Somalia sendiri telah melalui perjalanan panjang dari negara gagal menuju proses rekonstruksi negara. Meski tantangan keamanan masih ada, pemerintah federal Somalia terus berupaya membangun institusi, meningkatkan kerja sama internasional, dan berkontribusi dalam forum global.
Komentar sinis yang beredar di media sosial mencerminkan standar ganda dalam memandang negara berkembang. Negara-negara dengan konflik internal sering kali diperlakukan seolah tidak memiliki hak yang sama dalam sistem internasional, padahal PBB dibangun justru untuk menjembatani ketimpangan tersebut.
Presidensi DK PBB yang hanya berlangsung satu bulan sering dijadikan bahan ejekan, seolah-olah posisi itu berbahaya jika dipegang negara tertentu. Padahal, keputusan substantif Dewan Keamanan tetap ditentukan oleh pemungutan suara, termasuk hak veto lima anggota tetap.
Mengolok Somalia karena presidensi DK PBB juga berisiko memperkuat stigma negatif terhadap negara-negara Afrika. Narasi semacam ini mengabaikan kenyataan bahwa Afrika adalah bagian integral dari sistem internasional dan memiliki hak yang sama dalam tata kelola global.
Dalam konteks diplomasi, penghormatan terhadap prosedur multilateral adalah fondasi utama stabilitas global. Meremehkan mekanisme rotasi presidensi sama saja dengan meremehkan aturan yang disepakati bersama oleh negara-negara anggota PBB.
Somalia, terlepas dari keterbatasannya, tetap negara berdaulat yang diakui secara internasional. Haknya untuk berpartisipasi penuh dalam lembaga PBB tidak bisa digugurkan hanya karena persepsi negatif atau stereotip yang berkembang di media sosial.
Pernyataan yang mempertanyakan legitimasi Somalia di DK PBB juga mencerminkan ketidaksabaran terhadap proses pembangunan negara. Rekonstruksi pascakonflik adalah proses panjang yang membutuhkan dukungan, bukan cemoohan.
Selain itu, sikap merendahkan semacam ini justru bertentangan dengan semangat solidaritas internasional yang sering digaungkan negara-negara besar. PBB bukan klub eksklusif negara maju, melainkan forum bersama untuk mengelola perbedaan dan konflik secara damai.
Presidensi Somalia di DK PBB dapat dilihat sebagai momentum simbolik, bukan ancaman. Ini menunjukkan bahwa negara yang pernah terpuruk pun tetap memiliki tempat dan suara dalam sistem global.
Bagi Somalia sendiri, momen ini memiliki nilai diplomatik penting. Kehadiran di panggung Dewan Keamanan memberikan kesempatan untuk memperkuat citra internasional dan menunjukkan komitmen terhadap multilateralisme.
Reaksi berlebihan yang menyerukan keluarnya negara tertentu dari PBB justru memperlihatkan krisis kepercayaan terhadap tatanan internasional. Padahal, kelemahan sistem global tidak bisa diselesaikan dengan ejekan atau isolasionisme.
Dalam jangka panjang, merendahkan negara lain berdasarkan kondisi domestiknya berpotensi merusak norma kesetaraan antarnegara. Jika logika ini diterapkan, banyak negara di dunia akan dipertanyakan haknya untuk duduk di forum internasional.
Perdebatan seharusnya difokuskan pada substansi kebijakan dan efektivitas PBB, bukan pada giliran presidensi yang bersifat administratif. Kritik yang konstruktif jauh lebih bermanfaat daripada sindiran yang viral sesaat.
Somalia, seperti negara lain, berhak diperlakukan dengan hormat dalam forum internasional. Posisi presidensi DK PBB adalah bagian dari aturan yang disepakati bersama, bukan hadiah atau lelucon.
Pada akhirnya, meledek Somalia karena posisinya di Dewan Keamanan PBB tidak hanya tidak elok, tetapi juga mencederai prinsip dasar multilateralisme. Dunia membutuhkan lebih banyak empati dan pemahaman, bukan sinisme, dalam menghadapi kompleksitas hubungan internasional.
Komentar Elon Musk yang menyindir Somalia sebagai Presiden Dewan Keamanan PBB mencerminkan cara pandang yang menyederhanakan dan meremehkan mekanisme multilateral internasional. Presidensi DK PBB bukanlah jabatan kekuasaan substantif, melainkan posisi administratif yang digilir setiap bulan berdasarkan urutan abjad di antara 15 anggota dewan. Menertawakan Somalia seolah-olah negara tersebut tiba-tiba “mengendalikan” keamanan dunia bukan hanya keliru secara faktual, tetapi juga menunjukkan kurangnya penghormatan terhadap prinsip kesetaraan kedaulatan negara yang menjadi dasar berdirinya PBB.
Sementara itu, komentar Eric Daugherty yang mempertanyakan kelayakan Somalia dengan alasan kondisi keamanan domestiknya justru memperlihatkan standar ganda dalam menilai legitimasi negara di forum global. Banyak negara yang pernah atau sedang mengalami konflik internal tetap menjalankan peran internasionalnya tanpa dipersoalkan. Kritik semacam ini tidak menyasar kelemahan sistem PBB, melainkan merendahkan satu negara tertentu, dan pada akhirnya memperkuat stigma bahwa hanya negara kuat dan stabil yang pantas memiliki suara dalam tata kelola dunia.
0 Komentar