Hadramaut, Ego Sektoral dan Adu Legitimasi Kekuasaan di Yaman

Ketegangan terbaru di Hadramaut kembali menegaskan bahwa konflik Yaman tidak lagi semata soal perang melawan Houthi, melainkan telah bergeser menjadi pertarungan legitimasi dan ego sektoral di antara aktor-aktor yang sama-sama mengklaim diri sebagai bagian dari pemerintah. Situasi ini terlihat jelas dalam narasi video yang beredar luas dan memicu perdebatan mengenai siapa otoritas sah di wilayah timur Yaman tersebut.

Video yang menjadi rujukan diproduksi oleh Aden Independent Channel, media yang berafiliasi langsung dengan Southern Transitional Council. Dalam tayangan itu, Pasukan Elit Hadramaut digambarkan sebagai alat negara yang bertindak atas nama stabilitas, hukum, dan otoritas lokal. Bahasa yang digunakan sengaja menempatkan mereka sebagai representasi negara yang sah.

Secara administratif, klaim tersebut tidak sepenuhnya keliru. Pasukan Elit Hadramaut memang tercatat sebagai bagian dari struktur resmi Wilayah Militer Kedua (Kodam II), yang berada di bawah otoritas pemerintah pusat Yaman melalui Presidential Leadership Council. Di atas kertas, mereka adalah pasukan negara.

Namun di lapangan, garis administrasi itu menjadi kabur. Secara operasional dan ideologis, Pasukan Elit Hadramaut memiliki kedekatan kuat dengan STC, baik dari sisi kepemimpinan, dukungan politik, maupun arah strategis. Dalam praktik sehari-hari, loyalitas mereka sering kali lebih mencerminkan kepentingan STC ketimbang PLC.

Di titik inilah Hadramaut berubah menjadi arena adu legitimasi. Semua aktor yang terlibat tidak berdiri sebagai pemberontak terhadap negara, melainkan justru berlomba mengklaim bahwa merekalah negara itu sendiri. Negara tidak lagi hadir sebagai entitas tunggal, tetapi terfragmentasi dalam berbagai representasi bersenjata.

Konflik semakin kompleks dengan munculnya sosok Amr bin Habrish. Ia bukan tokoh oposisi luar sistem, melainkan Ketua Hadramout Tribal Alliance sekaligus Wakil Gubernur Hadramaut. Posisi gandanya membuatnya berada di jantung pemerintahan sekaligus di pusat kekuatan suku.

Dalam video tersebut, pasukan yang dipimpin atau didukung oleh Amr bin Habrish dilabeli sebagai milisi ilegal dan pemberontak. Narasi ini menciptakan paradoks politik, karena seorang pejabat pemerintah secara visual dan retoris diposisikan sebagai ancaman terhadap ketertiban negara hanya karena yang bersangkutan bukan bagian STC.

Amr bin Habrish memang memimpin aliansi suku besar dengan pengaruh nyata di Hadramaut. Ketegangan antara aliansi suku ini dengan pemerintah daerah dan STC telah berlangsung lama, terutama terkait pembagian hasil minyak, hak wilayah, dan tuntutan otonomi yang lebih luas bagi Hadramaut.

Pendirian kamp oleh kelompoknya di Wadi Nahab menjadi simbol konflik tersebut. Dalam video, kamp itu disebut sebagai fasilitas luar hukum, seolah-olah berdiri di luar otoritas resmi. Padahal, dari sudut pandang suku, kamp tersebut dipresentasikan sebagai bentuk perlindungan hak dan martabat masyarakat Hadramaut.

Perbedaan sudut pandang inilah yang menunjukkan bahwa konflik di Hadramaut bukan sekadar bentrokan bersenjata, melainkan benturan klaim legalitas. Apa yang dianggap “penertiban negara” oleh satu pihak, dipersepsikan sebagai “penindasan kekuasaan” oleh pihak lain.

Pasukan Elit Hadramaut dalam narasi STC bertindak atas nama negara dan otoritas lokal. Namun negara yang dimaksud bukanlah negara Yaman sebagai entitas netral, melainkan negara versi STC, dengan visi politik dan struktur kekuasaannya sendiri.

Sebaliknya, Amr bin Habrish dan aliansi sukunya juga tidak memposisikan diri sebagai anti-negara. Mereka justru mengklaim memperjuangkan hak Hadramaut dalam kerangka negara, meskipun menggunakan kekuatan suku sebagai alat tekan.

Kondisi ini menciptakan situasi unik di mana konflik terjadi sepenuhnya di dalam kubu anti-Houthi. Tidak ada garis pemisah jelas antara pemerintah dan pemberontak, karena semua aktor berada di dalam struktur yang sama, namun menarik legitimasi ke arah yang berbeda.

PLC sebagai pemerintah pusat berada dalam posisi sulit. Secara formal, baik Pasukan Elit Hadramaut maupun Amr bin Habrish berada dalam orbit pemerintahan. Ketika konflik terjadi di antara mereka, PLC cenderung kehilangan kapasitas untuk bertindak sebagai penengah yang tegas. Padahal struktur PLC dibentuk agar semua faksi bisa duduk bersama memecahkan berbagai masalah di lapangan.

Ketidakmampuan ini memperkuat persepsi bahwa negara di Yaman telah tereduksi menjadi simbol, sementara kekuasaan nyata dijalankan oleh aktor lokal bersenjata dengan legitimasi masing-masing. Hadramaut menjadi contoh paling jelas dari fragmentasi tersebut.

Video yang dirilis AIC bukan sekadar laporan keamanan, melainkan alat politik. Dengan menyematkan label “pemberontak” kepada lawan, STC berusaha memonopoli definisi legalitas dan meminggirkan klaim alternatif atas otoritas lokal.

Dalam konteks ini, adu legitimasi menjadi lebih berbahaya daripada adu senjata. Senjata bisa didiamkan atau ditarik, tetapi klaim siapa yang sah memerintah menyentuh akar konflik yang lebih dalam dan sulit diselesaikan.

Jika situasi ini berlanjut, Hadramaut berisiko terjebak dalam konflik horizontal berkepanjangan. Bukan antara negara dan musuhnya, melainkan antarversi negara yang saling meniadakan.

Fenomena ini juga mencerminkan kegagalan transisi politik pascaperang di Yaman. Alih-alih menyatukan otoritas, struktur pemerintahan justru menjadi wadah persaingan legitimasi.

Pada akhirnya, apa yang terjadi di Hadramaut adalah potret Yaman hari ini. Negara ada, pemerintah ada, pejabat ada, tetapi kesepakatan tentang siapa yang benar-benar berhak memerintah tidak pernah benar-benar tercapai. Di ruang kosong itulah konflik terus berulang.

Posting Komentar

0 Komentar