Setelah Sukses Membantai Warga Arab Badui, Kelompok Druze Minta Merdeka dengan Dukungan Israel


Suwaida kembali menjadi sorotan setelah aksi unjuk rasa besar-besaran digelar oleh kelompok kelompok Druze anti-Damaskus. Ribuan orang memadati jalan-jalan utama kota, menuntut kemerdekaan penuh dan menolak segala bentuk federalisme atau otonomi khusus. Aksi ini terjadi setelah sebelumnya milisi Druze radikal pimpinan Hikmat Al Hajri sukses memprovokasi keributan dengan membantai Arab Badui yang memicu serangan balik dari warmga Suku Arab. 

Ini menjadi langkah kelompok pro Israel yang dilakukan secara bertahap untuk mewujudkan proyek neokolonialisme Israel Raya yang dicanangkan elite TelnAviv.

Para pengunjuk rasa membawa bendera Israel, spanduk dan poster bertuliskan tuntutan kemerdekaan serta penolakan terhadap pemerintahan pusat. Kelompok Al Hajri merupakan bagian dari sakit hati usai tumbangnya rejim Bashar Al Assad yang mereka dukung sebelumnya. Druze, Syiah Alawite dan beberapa komunitas Kristen merupakan tiang utama kekuatan Assad dan ikut dalam berbagai pembantaian lawan Assad. Sekitar 70 persen warga Suriah ikut menderita selama Assad memimpin.

Dalam orasinya otonomi khusus tidak cukup, dan hanya kemerdekaan yang bisa memenuhi aspirasi mereka, meski Damaskus tidak pernah menawarkan opsi tersebut. Demo ini hanya simbolis atas kelemahan Pemerintahan Ahmed Al Sharaa yang dibombardir Israel saat berusaha melerai perang Druze dengan warga Arab Badui yang tak sudi dibantai semena-mena.

Kehadiran sejumlah tokoh anti-Damaskus dalam aksi ini semakin memanaskan situasi. Beberapa di antaranya diketahui sebagai figur yang aktif memancing keributan di Suwaida sebelumnya. Mereka disebut-sebut sebagai dalang di balik eskalasi ketegangan yang terjadi belakangan ini.  

Pemerintah Suriah melalui juru bicaranya mengecam aksi semacam ini, menyebutnya sebagai upaya memecah belah negara. Damaskus menegaskan bahwa otonomi khusus sudah menjadi kompromi terbaik untuk memenuhi tuntutan daerah tanpa merusak kedaulatan nasional. Namun, para demonstran tampaknya tidak bergeming.  

Aksi ini juga mendapat sorotan dari kelompok oposisi di pengasingan. Beberapa di antara mereka menyatakan dukungan, sementara yang lain memperingatkan risiko disintegrasi jika tuntutan kemerdekaan dipaksakan. Analis politik menyebut situasi ini sebagai ujian berat bagi stabilitas Suriah pasca-konflik.  

Keamanan di sekitar lokasi demo diperketat, dengan pasukan keamanan berjaga-jaga untuk mencegah hal yang tidak diinginkan. Sejauh ini, belum ada laporan bentrok antara pengunjuk rasa dan aparat, namun ketegangan terus membayangi.  

Warga Suwaida sendiri terbelah dalam menyikapi aksi ini. Sebagian mendukung tuntutan kemerdekaan, sementara yang lain khawatir langkah tersebut justru akan memperburuk kondisi ekonomi dan keamanan. "Kami butuh solusi, bukan konflik baru," kata seorang warga yang enggan disebut namanya.  

Di tengah situasi yang memanas, seruan dialog kembali mengemuka. Beberapa tokoh masyarakat mendesak kedua pihak untuk duduk bersama dan mencari jalan tengah. Namun, dengan emosi yang masih tinggi, upaya mediasi diprediksi akan menemui banyak tantangan.  

Sementara itu, komunitas internasional mulai menyoroti perkembangan di Suwaida. 

Sebelumnya warga Druze di Lebanon telah meminta Druze di Suriah tidak terjebak dengan permainan geopolitik Israel. Sebagian tokoh Druze Suriah juga menolak agenda memecah belah Suriah. Mereka menyerukan persatuan nasional dan mengecam apa yang mereka sebut sebagai "provokasi asing". Situasi semakin rumit dengan adanya narasi yang saling bertolak belakang.  

Para pengamat menilai, tuntutan merdeka di Suwaida tidak bisa dipisahkan dari dinamika politik Suriah yang masih belum stabil. Sebagian warga Druze dan Kurdi memang ada yang pro Israel dan berusaha melakukan berbagai aksi politik untuk meledek Damaskus.

Jika tidak segera diatasi, aksi-aksi bisa memicu konflik baru di Suriah. Apalagi, Suwaida memiliki karakteristik demografis dan politik yang unik, sehingga konflik di sana bisa dengan cepat meluas. Warga Arab Badui yang menjadi korban pembantaian meminta pemerintah menyeret milisi Al Hajri dan pimpinannya ke pengadilan.

Di tengah kebuntuan politik, yang paling dirugikan adalah masyarakat biasa. Banyak warga yang mulai merasa lelah dengan ketidakpastian dan khawatir akan masa depan mereka. "Kami hanya ingin hidup damai," ujar seorang ibu rumah tangga di Suwaida.  

Aksi demo ini juga memunculkan pertanyaan tentang masa depan Suriah sebagai negara yang utuh. Dengan berbagai kelompok yang saling tarik-menarik kepentingan, stabilitas jangka panjang masih menjadi tanda tanya besar.  

Sementara itu, pihak keamanan terus memantau perkembangan terkini. Intelijen Suriah dikabarkan telah mengidentifikasi seberapa tokoh kunci di balik gerakan ini. Namun, belum ada tindakan tegas yang diambil untuk membubarkan aksi.  

Beberapa sumber menyebutkan bahwa kelompok anti-Damaskus ini mendapat dukungan dari pihak asing yang berkepentingan di Suriah. Namun, klaim ini sulit dibuktikan meski beberapa kali telah diumumkan secara publik oleh pejabat Israel dan telah digunakan sebagai alat propaganda untuk menunjukkan hegemoni Israel di kawasan. 

Posting Komentar

0 Komentar