Waspadai Unsur Tersembunyi di Balik Tambang

Pemerintah Indonesia perlu bergerak cepat dalam meninjau ulang seluruh kontrak tambang yang selama ini berlangsung di wilayahnya. Kecurigaan bahwa berbagai perusahaan tambang, baik dari Tiongkok, Amerika Serikat, maupun negara-negara lain, menyasar logam tanah jarang (rare earth elements) yang tidak diumumkan secara resmi, semakin menguat. Dalam banyak kasus, konsesi tambang yang secara legal diklaim hanya mengeksplorasi tembaga atau nikel ternyata menyimpan potensi logam lain yang jauh lebih berharga, seperti yttrium, scandium, atau neodymium, yang sangat penting bagi industri teknologi tinggi dan pertahanan.

Publik mulai bertanya-tanya mengapa Indonesia, dengan kekayaan tambang luar biasa, justru terlihat minim mendapatkan manfaat ekonominya. Penerimaan negara, baik dari pajak, royalti, maupun dividen, kerap dinilai tidak sebanding dengan besarnya volume hasil tambang yang dikeruk setiap tahun. Dalam laporan resmi pun, beberapa perusahaan tidak mencantumkan hasil eksplorasi terhadap logam ikutan, sehingga menimbulkan spekulasi bahwa ada praktik pengambilan sumber daya strategis tanpa pelaporan yang transparan.

Keadaan ini diperparah oleh kurangnya kapasitas negara dalam melakukan audit mineral secara independen. Sampel tambang dan proses pemurnian biasanya dilakukan di luar negeri, membuat data kandungan mineral berada di bawah kendali pihak asing. Hal ini memberi celah besar untuk manipulasi pelaporan dan mempersulit pemerintah dalam menagih nilai ekonomi yang sebenarnya.

Sebagai negara pemilik kedaulatan atas sumber daya alam, Indonesia seharusnya memiliki kendali penuh atas seluruh kandungan mineral di wilayahnya. Namun, hingga kini, belum ada sistem nasional yang kuat dalam mengidentifikasi dan melacak logam tanah jarang secara khusus. Padahal, permintaan terhadap rare earth di pasar global tengah melonjak, terutama karena persaingan industri teknologi dan pertahanan antara Amerika Serikat dan Tiongkok.

Jika Indonesia tidak segera memperkuat sistem perjanjian tambangnya, bukan tidak mungkin kepentingan geopolitik global akan memanfaatkan kelengahan ini untuk mengambil kendali atas sumber daya vital tersebut. Pemerintah harus memastikan bahwa kontrak tambang masa depan menyertakan klausul tentang logam ikutan, termasuk rare earth, yang secara eksplisit memberi hak negara untuk melakukan evaluasi ulang jika ditemukan kandungan yang lebih bernilai dari izin awal.

Kecurigaan bahwa pihak asing lebih tahu isi perut bumi Indonesia dibanding pemerintah sendiri adalah sinyal bahaya. Ketika negara lain bisa memetakan deposit logam ikutan menggunakan teknologi geospasial dan AI, sementara kita hanya menerima laporan hasil dari pihak penambang, maka Indonesia hanya menjadi "penonton" dari drama perampasan sumber daya sendiri.

Bandingkan dengan model kerja sama yang dilakukan Arab Saudi, Uni Emirat Arab, atau bahkan Qatar dalam sektor migas dan tambang mereka. Negara-negara tersebut menempatkan pemerintah sebagai pemegang kendali strategis, sementara investor asing diberikan ruang untuk beroperasi secara terbatas namun tetap menguntungkan. Pendapatan negara dari sektor ini tidak hanya berasal dari pajak, tapi juga dari skema bagi hasil, dividen korporasi negara, dan kontrol ekspor.

Arab Saudi, misalnya, melalui Saudi Aramco, memiliki struktur pengendalian sumber daya yang memungkinkan negara memperoleh keuntungan besar tanpa mengorbankan minat investasi. Kontrak eksplorasi diatur secara ketat dengan klausul evaluasi berkala, dan semua hasil eksplorasi—termasuk kandungan ikutan—wajib dilaporkan secara transparan ke otoritas negara. Hal yang sama dilakukan oleh Uni Emirat Arab dalam sektor logam dan energi mereka.

Indonesia seharusnya belajar dari pendekatan ini. Alih-alih menyerahkan kontrol pada kontraktor asing secara penuh, negara bisa membangun mekanisme pengawasan bersama melalui BUMN sektor tambang yang benar-benar independen dan profesional. Tidak sekadar menjadi mitra pasif, tetapi sebagai pemilik penuh sumber daya yang menentukan arah kerjasama.

Transparansi dan reformasi dalam perjanjian tambang adalah keharusan. Pemerintah perlu mewajibkan audit eksternal atas laporan kandungan mineral setiap tambang besar dan hasilnya diumumkan ke publik. Teknologi geologi terbaru harus digunakan oleh lembaga negara, bukan hanya kontraktor, agar tidak terjadi ketimpangan informasi antara pemilik sumber daya dan pelaksana eksplorasi.

Kewajiban hilirisasi tambang pun harus diperluas tidak hanya dalam bentuk smelter nikel atau tembaga, tetapi juga dalam fasilitas pemrosesan logam tanah jarang. Tanpa ini, Indonesia hanya akan menjadi pengirim bijih mentah yang tidak tahu seberapa besar nilai kekayaan yang sebenarnya telah hilang.

Salah satu celah yang sering dimanfaatkan dalam kontrak tambang adalah ketidaktepatan bahasa legal terkait "unsur ikutan" atau by-product. Pemerintah harus memastikan bahwa semua hasil sampingan tambang yang bernilai ekonomi tinggi, termasuk logam strategis, menjadi bagian dari perhitungan royalti dan pendapatan negara.

Kecurigaan publik terhadap minimnya dividen dan manfaat yang dirasakan masyarakat dari tambang-tambang besar adalah hal yang wajar, melihat betapa tertutupnya proses pelaporan dan minimnya keterlibatan negara dalam tahap eksplorasi dan pasca-eksplorasi. Selama negara hanya menjadi penonton, sulit berharap adanya kedaulatan sumber daya.

Sudah saatnya Indonesia menata ulang seluruh kerangka hukum pertambangan dengan pendekatan berbasis kedaulatan dan transparansi. Setiap kontrak yang ditandatangani harus tunduk pada prinsip evaluasi berkala dan terbuka terhadap revisi jika ditemukan unsur baru yang lebih strategis.

Kita tak bisa menunggu sampai seluruh kandungan bumi terkuras, baru menyadari bahwa yang kita dapat hanyalah sebagian kecil dari nilainya. Di era persaingan global atas logam strategis, Indonesia harus berdiri sebagai tuan rumah di rumahnya sendiri, bukan sebagai penyedia bahan mentah tanpa kekuatan tawar.

Pemerintah juga perlu membangun sistem pemetaan mineral nasional berbasis teknologi mutakhir, bekerja sama dengan lembaga akademik dan riset independen. Ini penting untuk menghentikan dominasi informasi oleh pihak asing dan memastikan keputusan negara berbasis data yang sahih.

Jika langkah-langkah ini tidak segera diambil, maka bukan mustahil bahwa generasi mendatang akan mewarisi tanah yang kosong, laut yang tercemar, dan hanya catatan kerugian dari tambang yang dahulu kaya raya. Indonesia perlu bangkit sebagai pemilik sejati, bukan korban dari perjanjian yang timpang dan agenda tersembunyi pihak luar.

Posting Komentar

0 Komentar