Perbedaan Cara SDF dan Milisi Al Hajri untuk Memantik Perhatian Asing


Komandan Pasukan Demokratik Suriah (SDF), Mazloum Abdi, tampil tenang dan penuh keyakinan saat membahas perkembangan negosiasi dengan pemerintah Damaskus. 

Dalam sebuah wawancara eksklusif, Abdi menunjukkan sikap yang jauh dari kegelisahan, mengisyaratkan optimisme mendalam terhadap arah pembicaraan yang sedang berlangsung, serta kekuatan militer yang ia pimpin. Komunikasi yang kalem dan terukur ini tidak hanya mencerminkan kepribadian Abdi, tetapi juga keyakinan teguh pada kapasitas militer SDF dan dukungan kuat dari sekutu internasional.

Ketenangan Abdi dapat diartikan sebagai cerminan dari fondasi kuat yang dimiliki SDF, baik dari segi kekuatan militer internal maupun dukungan eksternal. Perannya sebagai komandan pasukan yang telah terbukti efektif dalam menjalankan sejumlah agenda Amerika Serikat dan sekutunya di Timur Tengah, termasuk menekan pengaruh Turkiye, memberikan landasan solid bagi postur diplomatiknya.

Keyakinan ini diperkuat oleh fakta bahwa SDF telah menjadi mitra utama dalam membendung pengaruh Istanbul yang masih menganggapnya bagian dari PKK, kelompok terlarang di Turkiye, menerima pelatihan, persenjataan, dan dukungan politik dari kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.

Dukungan internasional ini bukan sekadar retorika. Kehadiran dan keterlibatan Amerika Serikat, Prancis, dan Inggris sebagai sponsor utama dalam negosiasi antara SDF dan Damaskus di bawah pemerintahan Presiden Ahmed Al Sharaa memberikan legitimasi dan tekanan yang signifikan. Peran mereka sebagai perantara membuktikan bahwa komunitas internasional mengakui SDF sebagai aktor penting dalam masa depan Suriah, bukan sekadar milisi lokal. Ini juga memberikan Abdi posisi tawar yang kuat di meja perundingan.

Berbeda dengan ketenangan Abdi, situasi di Sweida memberikan gambaran kontras tentang dinamika kekuatan di Suriah. Di sana, Hikmat Al Hajri, pemimpin milisi yang ingin mencari panggung di tengah kekacauan, mencoba membangun pengaruh di komunitas Druze untuk meyakinkan Israel bahwa milisinya dapat diandalkan untuk mewujudkan proyek neo kolonialisme Greater Israel yang mencakup beberapa negara kawasan. 

Kelompoknya, meskipun memiliki persenjataan berat warisan dari rezim Bashar Al Assad sebelumnya, berjuang untuk mendapatkan pengakuan dan legitimasi yang setara dengan SDF.

Milisi Al Hajri, meskipun bersenjata lengkap, memiliki kekuatan yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan SDF. Senjata berat yang mereka miliki adalah peninggalan dari masa ketika mereka masih menjadi bagian dari kekuatan yang berafiliasi dengan pemerintahan Bashar Al Assad di Damaskus. 

Namun, status mereka saat ini sebagai milisi yang berusaha menegaskan diri di Sweida menempatkan mereka dalam posisi yang berbeda dibandingkan SDF yang sudah mapan.

Tindakan Al Hajri, seperti penculikan Badui Arab dan pembantaian yang menyertainya, dapat dilihat sebagai upaya untuk menunjukkan kekuatan secara berlebihan. Drama yang diciptakan ini merupakan bentuk unjuk gigi yang tidak perlu bagi Abdi dan SDF, yang telah memiliki kekuatan militer yang teruji dan dukungan internasional yang mapan. 

Aksi-aksi semacam itu justru dapat merusak citra dan legitimasi kelompok yang ingin diperhitungkan di kancah politik Suriah.

Situasi ini menyoroti perbedaan mendasar dalam strategi dan posisi. Abdi, dengan sikapnya yang tenang, dapat mempertahankan kendali atas narasi dan menegaskan posisinya sebagai pemimpin yang bertanggung jawab. Ia tidak perlu lagi melakukan aksi-aksi dramatis untuk membuktikan kekuatan atau mencari perhatian. 

Kekuatan militer SDF yang sudah terorganisir dan teruji di medan perang telah berbicara dengan sendirinya.

Negosiasi peleburan lembaga negara yang dikuasai SDF di Suriah Timur dengan Damaskus terus berlanjut, dengan Abdi menegaskan bahwa saluran komunikasi tetap terbuka. Ia menyebutkan adanya "langkah-langkah praktis" yang sedang dijalankan, meskipun ada penundaan dalam mekanisme implementasi perjanjian 10 Maret. Komitmen SDF terhadap kesatuan wilayah Suriah, satu bendera, dan satu tentara tetap menjadi prinsip utama dalam pembicaraan ini.

Integrasi SDF ke dalam Tentara Suriah juga menjadi topik krusial. Abdi mengakui adanya kesepakatan mengenai satu lembaga militer, namun mekanisme detail integrasinya masih perlu dibahas lebih lanjut. Ia menekankan bahwa proses ini harus berkontribusi pada pembentukan tentara nasional yang kuat dan representatif bagi seluruh warga Suriah, khususnya Kurdi.

Ketenangannya dalam membahas isu ini menunjukkan kepercayaan diri akan hasil akhir yang positif.

Selain itu, Abdi juga menyoroti pentingnya desentralisasi sebagai solusi terbaik untuk membangun kembali negara Suriah setelah konflik berkepanjangan. Damaskus menolak konsep federalisme karena diyakini akan memperpanjang konflik.

Ia mengusulkan pemerintahan lokal di tingkat provinsi dengan pembagian kekuasaan tertentu, sebuah gagasan yang menurutnya tidak bertentangan dengan kesatuan Suriah. Pendekatan pragmatis ini mencerminkan visi jangka panjang Abdi untuk stabilitas regional.

Masuknya lembaga-lembaga resmi Damaskus ke Suriah Timur Laut juga menjadi bagian dari agenda negosiasi. Abdi menyatakan kesiapan SDF untuk fase ini, bahkan mengutip kesuksesan ujian pemerintah yang pertama kali diadakan di wilayah tersebut sebagai bukti kesiapan.

Hal ini menunjukkan komitmen SDF untuk mengembalikan fungsi-fungsi negara secara bertahap dan terkoordinasi. Hal ini penting karena lembaga kepolisian dan keamanan yang bernaung di bawah SDF sering dituding sebagai alat mempersekusi mayoritas warga Arab di wilayah SDF, meski ada kelompok Arab pro SDF dalam strukturnya.

Perbandingan antara Mazloum Abdi dan Hikmat Al Hajri menunjukkan dua pendekatan yang sangat berbeda dalam mencapai tujuan politik di Suriah yang kompleks. Abdi mengandalkan kekuatan yang mapan, diplomasi terstruktur, dan dukungan internasional yang kuat, memungkinkan dia untuk bersikap tenang dan percaya diri.

Sebaliknya, Al Hajri, dengan sumber daya yang lebih terbatas dan legitimasi yang belum sepenuhnya terbentuk, cenderung menggunakan unjuk kekuatan yang lebih terbuka, bahkan dramatis. Perbedaan ini mencerminkan dinamika kekuasaan dan pengaruh yang terus bergeser di berbagai wilayah Suriah.

Meskipun keduanya mungkin memiliki kesamaan dalam hal dukungan asing untuk melemahkan otoritas Damaskus, cara mereka mewujudkan tujuan tersebut sangatlah berbeda. Abdi beroperasi dalam kerangka kerja diplomatik yang lebih terstruktur, didukung oleh aliansi yang kuat dan terbukti.

Ini memungkinkan Abdi untuk fokus pada negosiasi substantif, sementara Al Hajri masih berusaha untuk membangun relevansinya melalui tindakan yang lebih agresif. Kontras ini menggarisbawahi kompleksitas lanskap politik dan militer Suriah yang terus berkembang.

Secara keseluruhan, gaya komunikasi Abdi yang tenang dan terkontrol memancarkan aura keyakinan yang berasal dari kekuatan militer SDF yang solid dan dukungan strategis dari kekuatan global. Ini menempatkannya dalam posisi yang jauh lebih kuat dibandingkan kelompok-kelompok seperti milisi Al Hajri, yang masih berjuang untuk legitimasi dan pengakuan di tengah turbulensi Suriah.

Posting Komentar

0 Komentar