Kesepakatan damai yang ditandatangani Armenia dan Azerbaijan pada 8 Agustus 2025 di Gedung Putih menjadi tonggak baru dalam peta politik Kaukasus Selatan. Perjanjian yang difasilitasi Presiden Amerika Serikat Donald Trump itu tidak hanya mengakhiri puluhan tahun konflik, tetapi juga melahirkan proyek infrastruktur strategis bernama Koridor Zangezur. Jalur ini menghubungkan Azerbaijan dengan eksklave Nakhchivan melalui wilayah Syunik di Armenia, membuka koneksi darat yang selama ini terputus.
Wilayah Syunik sendiri memiliki sejarah yang rumit. Dalam catatan sejarah sebelum era Soviet, wilayah ini merupakan bagian dari Azerbaijan, dan penduduknya tidak hanya orang Armenia, tetapi juga komunitas Muslim Azerbaijan. Penggabungan Syunik ke Armenia oleh kebijakan Moskow pada awal abad ke-20 menjadi salah satu sumber ketegangan berkepanjangan. Dengan kesepakatan damai ini, Armenia secara de facto mengakui jalur yang memotong Syunik, yang oleh sebagian pihak dinilai akan melemahkan klaim eksklusifnya atas provinsi tersebut.
Koridor Zangezur memiliki dimensi geopolitik yang jauh melampaui fungsi transportasi. Dalam kesepakatan itu, Armenia memberikan hak pengembangan eksklusif selama 99 tahun kepada Amerika Serikat. Jalur ini akan mencakup jalan raya, rel kereta api, serta saluran energi dan komunikasi, semuanya berada di bawah perlindungan keamanan AS. Kehadiran ini bukan hanya sekadar proyek pembangunan, melainkan langkah strategis yang memperkuat pengaruh Washington di jantung Kaukasus.
Di perbatasan Armenia–Azerbaijan ini pula, sejarah pernah mencatat lahirnya negara singkat bernama Republik Kurdistan Merdeka atau Republic of Ararat pada akhir 1920-an hingga awal 1930-an. Entitas ini diproklamasikan oleh pemberontak Kurdi yang menentang kekuasaan Turki dan Soviet. Meski hanya berusia singkat sebelum dibubarkan, keberadaannya menunjukkan betapa kompleksnya mosaik etnis dan politik di wilayah perbatasan tersebut.
Reaksi terhadap kesepakatan Zangezur beragam. Turki menyambutnya sebagai peluang emas untuk membuka jalur darat menuju Azerbaijan dan Asia Tengah. Rusia bersikap hati-hati, mengingat sebelumnya mereka memegang peran kunci dalam menjaga gencatan senjata di kawasan tersebut. Iran justru menolak keras, khawatir jalur ini akan mengurangi pengaruhnya dan memotong akses strategisnya menuju Laut Hitam serta pasar Eropa.
Meski ada penolakan Iran, proyek Zangezur tetap berjalan karena didukung kekuatan ekonomi dan militer AS. Washington akan menempatkan personel keamanan serta kontraktor sipil di sepanjang jalur, memastikan keamanan perdagangan dan infrastruktur. Dalam kerangka hukum perjanjian, status koridor ini menyerupai zona perdagangan dan keamanan internasional yang dilindungi.
Situasi ini berbeda jauh dengan pengalaman Palestina yang pernah mencita-citakan koridor penghubung Gaza dan Tepi Barat. Wacana koridor Palestina muncul sejak Perjanjian Oslo pada awal 1990-an. Kala itu, dibayangkan adanya jalur aman yang memungkinkan warga Palestina bergerak bebas antara dua wilayah yang terpisah oleh wilayah Israel.
Pada akhir 1990-an, Israel sempat menguji jalur aman berupa konvoi bus yang dikawal ketat dari Gaza ke Tepi Barat. Namun program ini berhenti total saat pemerintahan Israel berikutnya mensabotase perdamaian dengan pembantaian dan memancing warga Palestina melawan yang memicu Intifada Kedua meletus tahun 2000. Meski dalam kesepakatan 2005 yang disponsori AS dan Uni Eropa rencana koridor ini kembali dicantumkan, kenyataan politik dan keamanan membuatnya tak pernah terwujud.
Sejak 2007, ketika Hamas memenangkan pemilu pertama Palestina dan berkuasa di Gaza, ide koridor semakin jauh dari kenyataan. Israel melakukan berbagai cara untuk mengganggu warga Palestina agar perjanjian koridor itu gagal. Sementara itu, tidak ada kekuatan internasional yang bersedia menanggung risiko untuk menjaganya secara permanen. Beberapa negara seperti Qatar dan Turki sempat menawarkan dukungan pada awal 2010-an, namun tanpa hasil nyata.
Perbedaan mendasar antara Koridor Zangezur dan koridor Gaza–Tepi Barat terletak pada peran pihak ketiga. Zangezur memiliki dukungan penuh negara adidaya yang mampu menjamin keamanan dan pembiayaan jangka panjang. Di sisi lain, koridor Palestina tidak pernah memiliki pihak pengelola dengan otoritas dan kekuatan sebanding untuk memaksakan keberlangsungan jalur itu, sehingga mudah digagalkan oleh Israel yang terkenal dengan sikap selalu menghianati perjanjian.
Selain itu, faktor konsensus politik regional juga berbeda. Dalam kasus Zangezur, meski ada penentangan Iran, tiga kekuatan regional lainnya—Azerbaijan, Armenia, dan Turki—bersepakat. Adanya kesepahaman minimal antara pihak-pihak inti ini membuat proyek tetap berjalan. Sebaliknya, koridor Palestina berhadapan dengan penolakan keras Israel, yang merupakan pihak pengendali wilayah di antara Gaza dan Tepi Barat meski ada perjanjian.
Aspek legalitas juga berpengaruh besar. Kesepakatan Armenia–Azerbaijan dituangkan dalam perjanjian formal yang mengikat, disaksikan oleh kekuatan besar, dan memiliki pasal rinci soal pengelolaan. Rencana koridor Gaza–Tepi Barat sebagian besar hanya berupa lampiran kesepahaman yang tidak memiliki mekanisme penegakan hukum yang jelas.
Dari sudut pandang ekonomi, Zangezur menjanjikan keuntungan langsung bagi semua pihak yang terlibat. Jalur ini akan mempersingkat rute perdagangan, menghidupkan ekonomi lokal, dan membuka peluang transit bagi Turki menuju Asia Tengah. Sebaliknya, koridor Palestina lebih bersifat kemanusiaan dan politik, sehingga daya tarik ekonominya bagi pihak ketiga jauh lebih lemah.
Faktor keamanan juga tidak bisa diabaikan. Kawasan Kaukasus Selatan memang memiliki sejarah konflik, tetapi skala ancaman terhadap jalur Zangezur dinilai lebih mudah dikelola dibandingkan risiko keamanan di Gaza dan Tepi Barat, di mana ancaman roket, serangan, dan ketegangan politik sangat tinggi.
Keterlibatan langsung AS di Zangezur juga menambah legitimasi dan daya tahan proyek. Kehadiran personel militer dan sipil AS berfungsi sebagai jaminan bagi investor dan pihak logistik untuk memanfaatkan jalur ini tanpa kekhawatiran berlebihan. Koridor Palestina tidak pernah memiliki sponsor keamanan setara.
Penolakan Iran terhadap Zangezur tidak mampu menghentikan proyek ini karena Iran tidak menguasai wilayah yang menjadi jalur koridor. Sebaliknya, penolakan Israel terhadap koridor Gaza–Tepi Barat langsung memblokir rencana itu karena jalurnya berada sepenuhnya di bawah kendali Israel.
Dari perspektif diplomatik, keberhasilan Zangezur adalah hasil dari diplomasi segitiga yang melibatkan Washington, Baku, dan Yerevan, dengan Ankara sebagai pendukung utama. Diplomasi Palestina dalam isu koridor terhambat oleh fragmentasi internal antara Fatah dan Hamas serta ketidakmauan Israel untuk memberi konsesi wilayah.
Koridor Zangezur kini diproyeksikan menjadi model baru bagi jalur perdagangan internasional yang melewati kawasan rawan konflik. Jika berhasil, konsep ini berpotensi diadaptasi di kawasan lain dengan konflik serupa, selama ada pihak ketiga yang kuat dan disepakati bersama.
Meski begitu, keberhasilan awal tidak menjamin kelancaran jangka panjang. Perubahan politik di Armenia atau Azerbaijan, maupun dinamika global yang memengaruhi kebijakan AS, dapat memicu penyesuaian atau bahkan krisis di masa depan.
Pelajaran yang dapat diambil adalah bahwa keberhasilan sebuah koridor di kawasan konflik memerlukan tiga hal utama: dukungan penuh pihak ketiga yang kuat, konsensus minimal dari pihak-pihak inti, dan manfaat ekonomi nyata yang dirasakan bersama. Zangezur memenuhi ketiga syarat ini, sementara koridor Gaza–Tepi Barat gagal memenuhinya.
Dengan demikian, Koridor Zangezur bukan sekadar jalur penghubung geografis, tetapi simbol bagaimana kombinasi diplomasi, kepentingan ekonomi, dan kekuatan militer dapat menghasilkan terobosan di wilayah yang selama ini dikenal sebagai ladang konflik. Sementara itu, koridor Gaza–Tepi Barat tetap menjadi pengingat bahwa tanpa konsensus dan jaminan keamanan, mimpi konektivitas bisa lenyap di tengah jalan.
0 Komentar