Perubahan gelar dari “Presiden” menjadi “Rais” di Republik Tatarstan menandai titik baru dalam hubungan daerah dan pusat di Federasi Rusia. Meski tampak administratif, perubahan ini menyentuh akar sejarah panjang dan rumit antara bangsa Tatar dan kekuasaan Rusia, yang berawal jauh sebelum lahirnya negara Rusia modern. Untuk memahami kedudukan simbolik Tatarstan dalam tatanan Rusia hari ini, kita harus menoleh ke abad ke-13, ketika kekuasaan Mongol pertama kali tiba di jantung Eurasia.
Sekitar tahun 1237–1240, pasukan Mongol di bawah pimpinan Batu Khan, cucu Jenghis Khan, menyerbu wilayah Rus’ dan menundukkan berbagai kerajaan Slavia Timur. Dari penaklukan ini lahirlah entitas yang dikenal sebagai Golden Horde (Gerombolan Emas), kekhanan Mongol-Turki yang menguasai wilayah luas dari Siberia hingga Ukraina dan dari Laut Kaspia hingga perbatasan Eropa Tengah. Wilayah Tatarstan modern menjadi bagian penting dari pusat kekuasaan Golden Horde dan berkembang menjadi kawasan urban dan perdagangan yang signifikan.
Seiring berjalannya waktu, para keturunan Jenghis Khan yang memerintah Golden Horde mulai berasimilasi dengan budaya dan bahasa Turkik serta menganut Islam. Dari kekhanan ini kemudian lahir kekhanan-kekhanan penerus, termasuk Kekhanan Kazan, yang berdiri pada abad ke-15 sebagai negara Tatar Muslim merdeka di wilayah tengah Rusia hari ini. Kekhanan Kazan menjadikan kota Kazan sebagai ibu kota, dan menjadi simbol perlawanan Muslim-Turki terhadap ekspansi negara Rusia yang dipimpin oleh Moskow.
Kekhanan Kazan menjadi salah satu musuh utama dari Grand Duchy of Moscow (Kadipaten Agung Moskow), cikal bakal Kekaisaran Rusia. Setelah serangkaian perang berdarah, Ivan IV (Ivan the Terrible) menaklukkan Kazan pada tahun 1552. Penaklukan ini menjadi simbol awal dari ekspansi Rusia ke arah timur dan awal dari dominasi Ortodoks Rusia terhadap wilayah Muslim-Turki di kawasan Volga. Masjid-masjid dihancurkan, elit Tatar dipaksa tunduk, dan kolonisasi besar-besaran orang Rusia ke Kazan dimulai.
Namun, identitas Tatar tidak punah. Masyarakat Tatar mempertahankan bahasa, Islam, dan kesadaran sejarah mereka meskipun berada di bawah tekanan imperialisme budaya dan agama. Pada masa Kekaisaran Rusia dan kemudian Uni Soviet, Tatarstan mengalami pasang surut kebebasan politik dan budaya. Beberapa kali mereka mendapatkan status administratif otonom, seperti ketika ditetapkan sebagai Republik Sosialis Soviet Otonom Tatar dalam struktur Soviet.
Setelah runtuhnya Uni Soviet pada 1991, Tatarstan menjadi salah satu republik yang paling keras menuntut otonomi. Mereka tidak menandatangani Konstitusi Rusia pada awalnya dan menyatakan kedaulatan secara simbolik. Pada 1994, Tatarstan menandatangani perjanjian bilateral dengan pemerintah federal yang memberikan status khusus, menjadikannya satu-satunya republik dengan hak-hak otonomi terbatas yang diakui secara hukum oleh Moskow.
Sebagai bagian dari otonomi itu, Tatarstan berhak menyebut kepala eksekutifnya sebagai Presiden, sejajar secara simbolik dengan Presiden Rusia. Gelar ini bertahan hingga era Vladimir Putin, yang sejak awal 2000-an mengupayakan sentralisasi kekuasaan. Putin memandang federalisme asimetris sebagai ancaman terhadap integritas nasional Rusia, dan mulai menghapus perjanjian bilateral serta menyeragamkan struktur kekuasaan di seluruh wilayah.
Satu per satu republik-republik etnis di Rusia mulai mengganti gelar “Presiden” dengan sebutan lain seperti “Kepala Republik” atau “Ketua Administrasi”. Namun Tatarstan bertahan paling lama, mempertahankan gelar tersebut sebagai simbol kedaulatan internal. Hanya pada tahun 2022, Tatarstan akhirnya menyetujui perubahan gelar itu menjadi “Rais”, sebuah istilah dalam bahasa Arab yang bermakna “pemimpin” dan dianggap lebih mencerminkan identitas Tatar-Muslim.
Saat ini, Rustam Minnikhanov, yang sebelumnya menjabat sebagai Presiden Tatarstan sejak 2010, kini menyandang gelar Rais Tatarstan. Perubahan gelar itu sendiri tidak mengubah banyak hal dalam struktur pemerintahan, tetapi menandai berakhirnya simbol penting dari status otonomi pasca-Soviet yang dahulu begitu diperjuangkan.
Minnikhanov sendiri adalah figur pragmatis yang berhasil menjembatani antara loyalitas pada Kremlin dan aspirasi masyarakat lokal. Di bawah kepemimpinannya, Tatarstan berkembang menjadi salah satu wilayah paling makmur dan stabil di Rusia, dengan pusat industri dan pendidikan yang berkembang pesat di Kazan. Ia memainkan peran penting dalam memproyeksikan citra Rusia yang inklusif terhadap Islam, bahkan menjadi jembatan diplomatik dengan dunia Muslim.
Namun, banyak orang Tatar memandang perubahan gelar ini dengan getir. Bagi mereka, itu bukan sekadar perubahan administratif, melainkan penghapusan simbol historis atas identitas mereka sebagai bangsa yang pernah memiliki negara, budaya, dan sistem pemerintahan sendiri sejak era Mongol dan Kazan.
Kisah Tatarstan adalah cermin dari sejarah panjang pertemuan antara kekuasaan Mongol-Turki, Islam, dan imperialisme Rusia. Dari kejayaan Golden Horde hingga integrasi paksa oleh Moskow, dari Kekhanan Kazan ke status Rais hari ini, sejarah bangsa Tatar menunjukkan daya tahan luar biasa dari sebuah identitas etnis dan agama di tengah gelombang sentralisasi kekuasaan yang terus berlangsung di jantung Eurasia.
0 Komentar