Mengurung Paksa Warga Palestina di Kamp Lebih Kecil di Gaza, Kejahatan Kemanusiaan yang Dipertontonkan


Rencana Israel untuk memindahkan warga Gaza ke sebuah "kota kemanusiaan" kembali memicu perdebatan tajam di forum internasional. Dalam konteks hukum internasional, langkah seperti ini dapat tergolong sebagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan, khususnya jika memenuhi syarat sebagai “deportasi” atau “pemindahan paksa.” Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 7 Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional (ICC), yang menjelaskan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan mencakup berbagai tindakan bila dilakukan secara luas atau sistematis terhadap penduduk sipil.

Dalam hal ini, istilah "luas atau sistematis" tidak harus dikaitkan dengan serangan bersenjata secara langsung. Kejahatan apartheid di Afrika Selatan, misalnya, diakui sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan tanpa harus berada dalam kondisi perang terbuka. Demikian pula, upaya pemindahan massal yang didasarkan pada perbedaan etnis atau kebangsaan bisa diklasifikasikan ke dalam kategori kejahatan kemanusiaan jika disengaja, terencana, dan menargetkan populasi sipil.

Jika Israel hanya memindahkan penduduk Gaza ke wilayah Rafah tanpa jaminan keselamatan, makanan, atau tempat tinggal yang layak, tindakan itu sudah dapat dianggap sebagai "pemindahan paksa." Lebih dari itu, bila rencana tersebut diteruskan dengan menempatkan warga Palestina ke luar wilayah Gaza atau bahkan ke negara lain, maka status hukum tindakan tersebut bisa berubah menjadi "deportasi." Keduanya merupakan pelanggaran serius dalam kerangka hukum kemanusiaan internasional.

Langkah ini tidak bisa dilepaskan dari konteks kekerasan dan blokade yang telah berlangsung selama bertahun-tahun di Gaza. Di bawah tekanan militer, ekonomi, dan sosial yang tiada henti, warga Palestina dipaksa untuk berpindah dari tanah mereka sendiri. Ketika tekanan tersebut diformalisasi lewat kebijakan negara, maka hukum internasional menyebutnya sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, bukan sekadar strategi perang atau kebijakan keamanan.

Pakar hukum internasional telah menyoroti bahwa pemindahan paksa maupun deportasi bukan sekadar soal logistik, tapi menyentuh fondasi hak asasi manusia. Hak untuk tinggal di tempat kelahiran, untuk tidak terusir dari tanah air sendiri, dan untuk tidak dipisahkan dari komunitas secara paksa adalah prinsip dasar dalam perlindungan penduduk sipil. Ketika hak-hak itu dicabut dengan alasan apapun, termasuk keamanan, maka mekanisme hukum internasional memiliki tanggung jawab untuk menyelidikinya.

Selama bertahun-tahun, warga Gaza telah hidup dalam kepungan yang hampir total. Akses keluar masuk dibatasi ketat, bantuan kemanusiaan tersendat, dan kondisi kehidupan terus memburuk. Kini, ketika pilihan yang tersisa hanya bertahan di tengah reruntuhan atau pergi ke tempat yang belum jelas nasibnya, banyak pihak menilai bahwa ini bukan relokasi sukarela, melainkan pemaksaan yang terselubung.

Kondisi yang mendasari suatu tindakan dapat menentukan apakah itu tergolong kejahatan kemanusiaan atau tidak. Dalam kasus Gaza, latar belakang kekerasan, penghancuran sistematis infrastruktur sipil, dan pembatasan akses dasar menjadikan rencana pemindahan warga tidak berdiri sendiri. Ia merupakan bagian dari rangkaian serangan yang lebih luas terhadap populasi sipil yang tidak memiliki pilihan alternatif.

Mahkamah Pidana Internasional, sejak terbentuknya, memang tidak membatasi kejahatan terhadap kemanusiaan hanya pada masa perang. Ketika suatu negara secara aktif mengusir kelompok sipil dari wilayah tempat tinggalnya, tanpa perlindungan hukum dan dalam suasana tekanan, maka itu merupakan pelanggaran terhadap ketentuan dasar hak sipil dalam hukum internasional. Bahkan, dalam kasus apartheid, tindakan seperti ini cukup untuk menetapkan bentuk kejahatan meski tidak ada peluru yang ditembakkan.

Gambaran yang kini muncul di Gaza adalah pemindahan yang dilakukan dalam keadaan terpaksa, dengan pilihan antara hidup dalam kehancuran atau mengungsi tanpa kejelasan. Ini bukan evakuasi sukarela, bukan pemindahan berdasarkan kesepakatan, melainkan tindakan sepihak yang mengorbankan keberlangsungan satu komunitas secara menyeluruh. Dalam bahasa hukum, ini mengarah pada pemusnahan budaya dan sosial yang pelan tapi pasti.

Situasi ini juga mengkhawatirkan karena menormalisasi praktik yang seharusnya dilarang keras oleh hukum internasional. Ketika pemindahan paksa dibungkus dengan label “kemanusiaan,” komunitas internasional justru bisa terseret dalam narasi yang salah. Padahal, dalam banyak kasus sejarah, istilah kemanusiaan justru digunakan untuk membenarkan tindakan yang mendekati pembersihan etnis secara bertahap.

Hingga kini, belum ada tindakan tegas dari dunia internasional untuk menyelidiki secara langsung rencana tersebut sebagai kemungkinan kejahatan terhadap kemanusiaan. Padahal, landasan hukumnya sudah ada, kasusnya nyata, dan korbannya terus bertambah. Keheningan ini bisa menjadi preseden buruk bagi perlindungan hukum warga sipil di masa depan, khususnya di wilayah konflik berkepanjangan.

Palestina sebagai bangsa telah mengalami berbagai bentuk penindasan struktural selama puluhan tahun. Ketika satu bentuk kejahatan tidak diadili, bentuk-bentuk baru akan muncul dengan nama yang berbeda tapi esensi yang sama. Rencana relokasi Gaza, jika dibiarkan tanpa penyelidikan, berpotensi memperpanjang sejarah impunitas yang melukai prinsip keadilan internasional.

Dalam sejarah kejahatan kemanusiaan, tindakan tidak selalu muncul dalam bentuk pembantaian massal. Kadang, ia hadir dalam keputusan administratif, dalam peta wilayah, dalam rancangan logistik yang tampak teknokratis. Namun akibatnya tetap sama: penghancuran tatanan sosial, penghapusan identitas kolektif, dan penghilangan hak dasar atas tanah dan masa depan.

Kini saatnya dunia internasional, khususnya lembaga-lembaga penegak hukum global, memandang kasus Gaza bukan sebagai konflik biasa. Ini adalah ujian bagi keberpihakan pada hukum, bagi konsistensi atas janji-janji kemanusiaan yang selama ini disuarakan. Palestina tidak butuh simpati kosong, tapi keadilan yang berani menghadapi kenyataan.

Jika kejahatan terhadap kemanusiaan didefinisikan sebagai serangan sistematis terhadap penduduk sipil, maka rencana pemindahan Gaza bisa jadi adalah salah satu bentuknya. Dunia hanya tinggal memutuskan: apakah akan diam atau bertindak. Karena di balik angka-angka dan laporan, ada nyawa dan nasib satu bangsa yang perlahan dipinggirkan dari sejarahnya sendiri.


Posting Komentar

0 Komentar