Dalam sejarah panjang perjuangan bangsa Palestina, peran Indonesia tak pernah surut, bahkan sejak sebelum negara Palestina secara resmi diakui secara luas oleh dunia internasional. Salah satu momen penting yang tercatat dalam sejarah diplomasi Indonesia adalah ketika negeri ini menerbitkan surat perjalanan laksana paspor bagi delegasi Palestina yang hendak menghadiri Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung. Langkah ini menjadi simbol kuat dukungan Indonesia terhadap aspirasi kemerdekaan Palestina, bahkan sebelum Palestina memiliki otoritas resmi untuk menerbitkan paspor mereka sendiri.
Pada masa itu, delegasi Palestina menghadapi kendala besar dalam keikutsertaan di forum-forum internasional, sebab belum memiliki status kenegaraan yang diakui dan karenanya tak memiliki paspor nasional. Indonesia, dengan semangat solidaritas antikolonial dan antiimperialisme yang menjadi napas Konferensi Asia Afrika, memutuskan untuk mengeluarkan dokumen khusus yang memungkinkan wakil Palestina hadir dan bersuara di panggung internasional bersama negara-negara merdeka Asia dan Afrika.
Dokumen tersebut dikenal sebagai Surat Perjalanan Laksana Paspor, sebuah instrumen diplomatik yang dapat digunakan untuk bepergian secara internasional dalam kapasitas tertentu. Meski bukan paspor biasa, dokumen ini memiliki legitimasi diplomatik tinggi karena dikeluarkan oleh negara tuan rumah konferensi. Dengan kebijakan ini, Indonesia tidak hanya memberikan dukungan moral, tetapi juga dukungan administratif konkret bagi perjuangan Palestina.
Langkah Indonesia tersebut berlangsung pada saat dunia masih terpecah antara kutub kolonialisme dan gerakan pembebasan nasional. Waktu itu, Palestina berada dalam bayang-bayang sejarah panjang sebagai wilayah Mandat Inggris, di mana sejak 1925 penduduknya hanya memiliki Paspor Wajib Palestina yang diterbitkan oleh otoritas kolonial Inggris. Dokumen itu tidak merepresentasikan identitas nasional, tetapi semata-mata alat administratif kolonial.
Setelah masa mandat berakhir dan Israel mendeklarasikan kemerdekaannya pada 1948, rakyat Palestina menjadi bangsa tanpa negara, tanpa kewarganegaraan yang diakui, dan tanpa dokumen resmi kenegaraan. Dalam konteks inilah, kehadiran Palestina di Konferensi Asia Afrika tahun 1955 menjadi langkah politis yang sangat penting—dan bantuan Indonesia menjadi pintu pembuka bagi pengakuan lebih luas atas eksistensi politik bangsa Palestina.
Presiden Soekarno, sebagai penggagas Konferensi Asia Afrika, memegang komitmen kuat untuk memperjuangkan kemerdekaan seluruh bangsa terjajah. Dalam sambutannya di pembukaan konferensi, Soekarno menekankan bahwa perjuangan negara-negara Asia dan Afrika tidak akan lengkap tanpa kebebasan bagi bangsa-bangsa lain yang masih tertindas, termasuk Palestina. Surat perjalanan yang diberikan kepada delegasi Palestina adalah bukti nyata dari semangat tersebut.
Seiring waktu, Palestina mulai memperoleh beberapa bentuk pengakuan terbatas. Pada tahun 1995, Otoritas Palestina mulai menerbitkan paspor sendiri bagi warganya, yang dikenal sebagai Paspor Otoritas Palestina. Meskipun hanya berlaku terbatas pada wilayah yang dikuasai dan sering terganjal dalam penggunaannya di luar negeri, dokumen ini menjadi simbol penting dari proses kenegaraan yang terus diperjuangkan.
Perkembangan selanjutnya terjadi setelah tahun 2012, saat Palestina memperoleh status sebagai negara pengamat non-anggota di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Presiden Mahmud Abbas kemudian memerintahkan agar semua dokumen resmi menggunakan nama “Negara Palestina”. Perubahan ini diterapkan pada paspor, kartu identitas, surat izin mengemudi, bahkan perangko dan korespondensi diplomatik.
Namun demikian, keberadaan paspor resmi Palestina tidak serta-merta menjamin kebebasan bergerak warganya. Di banyak negara, paspor Palestina masih menghadapi pembatasan atau penolakan, utamanya karena tekanan politik dari Israel dan sekutunya. Fakta ini menjadikan momen ketika Indonesia mengeluarkan surat perjalanan pada 1955 sebagai tindakan luar biasa yang sangat progresif untuk masanya.
Saat banyak negara masih ragu untuk mengakui Palestina, Indonesia sudah menempatkan Palestina sebagai bagian dari gerakan negara-negara merdeka. Tindakan tersebut menjadi contoh nyata dari politik luar negeri bebas aktif Indonesia, yang tak sekadar bersikap netral, tetapi juga aktif membela bangsa-bangsa yang masih dijajah.
Kini, saat isu Palestina kembali mencuat akibat berbagai konflik dan agresi militer di wilayahnya, kilas balik sejarah ini menjadi pengingat penting akan konsistensi dukungan Indonesia. Ia bukan sekadar retorika, tetapi pernah diwujudkan secara administratif dan diplomatik dalam bentuk konkret, seperti surat perjalanan itu.
Dengan demikian, keterlibatan Indonesia dalam perjuangan Palestina tak bisa dipandang sebagai simpati belaka. Sejak masa Konferensi Asia Afrika, Indonesia telah menempatkan dirinya sebagai bagian dari perjuangan rakyat Palestina. Dukungan itu melampaui simbolisme politik dan menjadi fondasi historis dalam hubungan bilateral keduanya.
Sikap ini juga memperkuat posisi Indonesia dalam forum internasional terkait isu Palestina. Ketika Indonesia berbicara di PBB atau OIC soal kemerdekaan Palestina, ia berbicara dengan legitimasi sejarah dan rekam jejak panjang solidaritas yang telah dimulai sejak era Soekarno.
Pengakuan dunia terhadap Palestina memang masih berjalan lambat. Tapi dengan adanya negara-negara seperti Indonesia yang konsisten memberikan dukungan, baik secara politik maupun administratif, upaya kemerdekaan Palestina tetap memiliki harapan untuk tercapai.
Momen pemberian surat perjalanan laksana paspor pada 1955 menunjukkan bahwa diplomasi bukan hanya soal pengakuan de jure dan de facto, tetapi juga soal bagaimana memberi tempat kepada mereka yang belum memiliki panggung. Dan Indonesia saat itu telah memberi panggung kepada Palestina, bahkan sebelum dunia melakukannya.
Di tengah tekanan geopolitik modern, kisah ini layak diingat sebagai bagian dari warisan diplomasi Indonesia. Bukan hanya karena keberpihakan kepada Palestina, tetapi karena Indonesia pernah menunjukkan bahwa kemerdekaan dan kedaulatan tidak menunggu pengakuan dunia, tapi diperjuangkan bersama oleh sesama bangsa yang merdeka.
Meski banyak yang mengenang perjuangan kemerdekaan Palestina sebagai proses yang lambat dan baru mencuat ke pentas dunia sejak akhir 1980-an, faktanya rakyat Palestina pernah lebih dahulu memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 1 Oktober 1948. Deklarasi ini dibacakan di Gaza oleh Dewan Nasional Palestina yang membentuk Pemerintah Seluruh Palestina (All-Palestine Government) di bawah kepemimpinan Hajj Amin al-Husseini. Momen ini terjadi hanya beberapa bulan setelah Mandat Inggris atas Palestina berakhir dan Israel memproklamasikan berdirinya negara pada 14 Mei 1948.
Langkah ini merupakan inisiatif pertama dari rakyat Palestina sendiri untuk menyatakan diri sebagai bangsa merdeka, terlepas dari penjajahan dan pembagian sepihak wilayah oleh PBB pada tahun sebelumnya. Dukungan penuh datang dari Liga Arab, yang mendorong negara-negara anggotanya untuk mengakui Pemerintah Seluruh Palestina. Pengakuan itu sempat memberi legitimasi politik di dunia Arab bahwa Palestina adalah entitas yang berhak menentukan nasibnya sendiri.
Namun, proklamasi kemerdekaan tersebut menghadapi hambatan besar dari internal kawasan Arab sendiri. Salah satu masalah terbesar adalah sikap Kerajaan Yordania di bawah Raja Abdullah I, yang justru menolak keberadaan Pemerintah Seluruh Palestina dan menginginkan wilayah Tepi Barat dimasukkan ke dalam kekuasaan Yordania. Akibatnya, wilayah Palestina terbagi dua: Gaza dikuasai oleh Mesir, sementara Tepi Barat diambil alih Yordania, tanpa kontrol nyata dari pemerintahan Palestina yang baru saja dideklarasikan.
Ketegangan antara Mesir dan Yordania membuat Pemerintah Seluruh Palestina yang berbasis di Gaza tak pernah benar-benar berfungsi sebagai negara merdeka. Tidak ada angkatan bersenjata, tidak ada kendali perbatasan, dan tidak pula lembaga-lembaga pemerintahan efektif yang bisa menjalankan administrasi. Keberadaan pemerintah ini pun perlahan memudar, terlebih setelah perang Arab-Israel berikutnya memperkeruh situasi regional.
Karena tidak memiliki kekuasaan administratif dan militer atas wilayah yang diklaim, serta minim pengakuan di luar dunia Arab, deklarasi kemerdekaan Palestina tahun 1948 akhirnya dianggap gagal secara fungsional. Meski penting secara simbolik, deklarasi tersebut tidak menghasilkan entitas kenegaraan yang bertahan lama. Dunia internasional pun lebih menaruh perhatian pada berdirinya negara Israel, yang langsung disertai pengakuan global dan pembentukan pemerintahan yang nyata.
Situasi ini menunjukkan betapa rapuhnya posisi Palestina saat itu, terhimpit antara kekuatan kolonial yang baru saja hengkang dan negara-negara Arab yang justru memiliki kepentingan berbeda atas wilayah Palestina. Palestina menjadi korban dari tarik-menarik geopolitik di kawasan, yang sayangnya membuat deklarasi awal mereka tak bisa menjadi fondasi negara yang bertahan.
Baru empat dekade kemudian, proklamasi kemerdekaan kembali digaungkan oleh rakyat Palestina. Pada 15 November 1988, di tengah eksil di Aljir, Yasser Arafat atas nama Dewan Nasional Palestina kembali memproklamasikan berdirinya Negara Palestina. Meski juga tidak langsung disertai kontrol wilayah yang jelas, deklarasi ini mendapat pengakuan lebih luas dari lebih dari 100 negara, termasuk sejumlah negara Eropa dan Asia.
Perbedaan antara deklarasi 1948 dan 1988 terletak pada posisi politik dan organisasi yang lebih matang. Pada tahun 1988, PLO telah menjadi representasi resmi rakyat Palestina yang diakui oleh dunia internasional. Proklamasi ini juga muncul dalam konteks perjuangan panjang dan konsisten, serta disertai dokumen-dokumen kenegaraan yang lebih sistematis dan diplomasi aktif di PBB.
Meski begitu, penting untuk tidak melupakan deklarasi kemerdekaan Palestina pada tahun 1948. Momen itu menjadi penanda bahwa bangsa Palestina tidak pernah pasrah terhadap nasib yang ditentukan oleh kekuatan asing. Ia adalah bagian dari sejarah panjang perjuangan mereka, meski secara operasional gagal. Pengakuan atas sejarah ini memberi legitimasi moral dan historis terhadap tuntutan kemerdekaan Palestina yang masih terus diperjuangkan hingga hari ini.
All-Palestine Government (Pemerintah Seluruh Palestina) yang dideklarasikan pada 1 Oktober 1948 di Gaza sempat membentuk kabinet, meskipun hanya bersifat simbolik dan tidak pernah berfungsi secara efektif.
Berikut penjelasan detailnya:
1. Pembentukan Kabinet
Pemerintahan ini dibentuk oleh Dewan Nasional Palestina di bawah pengawasan Liga Arab, tak lama setelah berakhirnya Mandat Inggris dan dimulainya perang Arab-Israel 1948. Hajj Amin al-Husseini, tokoh nasionalis Palestina dan mantan Mufti Besar Yerusalem, diangkat sebagai Presiden Pemerintahan (semacam kepala negara simbolik), sedangkan Ahmad Hilmi Pasha menjabat sebagai Perdana Menteri.
Kabinet yang dibentuk mencakup beberapa portofolio, termasuk:
Menteri Pertahanan
Menteri Dalam Negeri
Menteri Luar Negeri
Menteri Keuangan, dan beberapa posisi lainnya.
Namun, sebagian besar menteri berada dalam pengasingan, dan tidak bekerja secara administratif di wilayah Palestina.
2. Wilayah Kekuasaan Terbatas
Pemerintah ini hanya berbasis di Jalur Gaza, yang saat itu berada di bawah kendali Mesir. Bahkan dalam praktiknya, pemerintah ini dikendalikan penuh oleh Mesir, dan tidak memiliki kekuatan militer, anggaran sendiri, atau kendali atas wilayah Palestina lainnya (seperti Tepi Barat yang dicaplok Yordania).
3. Kelemahan dan Pembubaran Diam-diam
Karena minim kekuasaan nyata, dukungan yang rapuh, dan konflik antar negara Arab (terutama antara Yordania dan Mesir), All-Palestine Government tidak pernah menjalankan fungsi pemerintahan efektif. Setelah markasnya dipindah ke Kairo pada 1949, pemerintah ini hanya bertahan secara simbolik dan tidak lagi aktif setelah 1952. Mesir sendiri kemudian mengelola Gaza secara langsung hingga 1967 tanpa benar-benar menghidupkan kembali pemerintahan ini.
0 Komentar