Ketika Sanusi Pane Mengurai Identitas Batak dari Minang


Penduduk tertua di suatu wilayah, seringkali menyimpan misteri asal-usul yang tak terungkap sepenuhnya. Namun, para penghuni saat ini, menurut catatan sejarah, diperkirakan berasal dari suku Toba. Meskipun mereka sempat digeser oleh suku Melayu, mayoritas dari mereka tetap bertahan dan berinteraksi, bahkan berasimilasi, dengan suku-suku lain seperti Aceh dan Bugis. Fenomena percampuran budaya ini menjadi bukti dinamisnya sejarah sosial di wilayah tersebut.

Diskursus mengenai identitas dan pergerakan nasionalisme di Sumatra pada awal abad ke-20 menjadi semakin menarik dengan adanya pemikiran Sanusi Pane. Esai beliau yang ditulis pada tahun 1926, berjudul "Nationalisme" dan diterbitkan di Jong Batak, menguraikan bagaimana suku Batak, melalui Jong Bataks Bond (JBB), mulai memisahkan diri dari pengaruh "Minang" yang identik dengan Jong Sumatranen Bond (JSB). Pemisahan ini bukan sekadar friksi antarsuku, melainkan proklamasi identitas politik dalam kerangka internasionalisme dan nasionalisme yang lebih luas.

Sanusi Pane membuka esainya dengan sebuah pengakuan bahwa ia tidak dapat memberikan pengertian penuh tentang nasionalisme. Sebaliknya, ia memilih untuk membatasi pembahasan pada aspek-aspek yang relevan dengan masyarakat Batak. Dengan gaya puitis, ia menggambarkan gagasan perdamaian dunia sebagai bintang di cakrawala gelap, menyanyikan lagu pembebasan bagi mereka yang haus akan kebebasan dari jebakan politik dan tipu daya duniawi.

Namun, lagu idealisme ini hanya dipahami sebagian oleh banyak orang. Mereka yang membangun cita-cita internasionalisme seringkali dicap sebagai kaum utopia, para pemimpi tak berdaya yang hanya mampu melagukan keindahan bulan dan bintang.

Pane menyanggah pandangan ini, menekankan bahwa di Indonesia, seringkali ada persepsi keliru bahwa internasionalisme tidak dapat berdampingan dengan nasionalisme.

Baginya, pemikiran semacam ini menunjukkan kurangnya pemahaman tentang inti persoalan sesungguhnya.
Seorang internasionalis, menurut Pane, tidak serta-merta berhenti bekerja untuk negaranya. Justru, cita-cita universalnya menjadi cambuk untuk bekerja tanpa lelah bagi tanah airnya. Namun, pekerjaannya tidak semata-mata dibaktikan untuk bangsanya, melainkan untuk kemanusiaan secara umum. Dorongan utamanya bukan kebencian, melainkan cinta yang tidak mengenal batas materi. Ia bekerja untuk bangsanya, demi kepentingan seluruh manusia, karena bangsa adalah bagian dari kemanusiaan yang lebih besar.

Ketenangan batin yang tak terganggu adalah ciri pekerja-pekerja ideal ini. Mereka tidak seperti bintang berekor yang cahayanya cemerlang sesaat lalu menghilang tanpa jejak. Pane memperingatkan untuk mewaspadai mereka yang dengan suara melengking dapat menggiring sesama manusia ke kebahagiaan semu, dengan dalih bahwa hanya dalam gerakan nyata massa rakyat terdapat kekuatan. Kekuatan yang ingin digerakkan oleh orang-orang berdarah panas itu, adalah kekuatan letusan gunung berapi yang destruktif.

Oleh karena itu, Pane menegaskan pentingnya mencegah orang-orang semacam itu masuk dalam barisan pergerakan. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan terus-menerus menunjukkan bahwa nasionalisme tidak boleh berubah menjadi chauvinisme (kebangsaan yang sempit dan kedaerahan), dan bahwa kekuatan yang mengatur serta menopang suatu bangsa adalah kebudayaannya. Ini adalah inti argumennya: budaya sebagai fondasi sejati identitas bangsa.

Baginya, kesatuan politik hanyalah buatan manusia (kunstmatig) dan seringkali berdasarkan etnis. Kehidupan budaya lebih mudah berkembang dalam hubungan ketatanegaraan yang mempersatukan, tetapi sebaliknya, hubungan politik semacam itu tidak selalu menghasilkan kesatuan kebudayaan. Tanpa perhatian terhadap unsur kebudayaan, persatuan di Indonesia hanya akan menjadi persatuan ketatanegaraan. Jika bangsa Indonesia yang beraneka ragam tidak mau bercampur baur menjadi satu bangsa yang padu, maka kelak setelah merdeka, akan timbul pertanyaan tentang supremasi antara orang Jawa dan Melayu.

Pane ingin menunjukkan bahwa tenaga permanen harus dicari dalam kebudayaan. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya memberikan ciri kebudayaan pada perhimpunan yang akan didirikan, yaitu Jong Bataks Bond. Penekanan ini dirasa perlu menjelang berdirinya pergerakan pemuda Batak, agar ekses-ekses negatif dapat dibatasi seminimal mungkin. Ia tidak berpendapat bahwa untuk mengangkat derajat Indonesia, para pemuda harus dijejali dengan gagasan-gagasan politik. Masa remaja harus menjadi pancaran kebahagiaan.

Pane merasa senang bahwa jiwa pemuda Batak dan Mandailing masih merupakan ladang yang belum tergarap, asalkan ada kemauan. Namun, tugas terberat saat ini adalah memilih bibit yang tepat, karena pengetahuan bahwa bibit apa pun yang disemai akan tumbuh subur, memberikan tanggung jawab yang besar. Ia mengingatkan agar tidak melupakan bahwa mata rakyat tertuju kepada kaum muda, dan gagasan-gagasan mereka perlahan mulai diterima. Rakyat belum terbawa gelombang pemikiran, dan kaum muda berkewajiban berdiri di gerbang tanah air sebagai pandu penjaganya.

Aspek kebudayaan rakyat Batak, menurut Pane, belum pernah tampil ke muka secara eksplisit. Namun, ia yakin bahwa aspek tersebut tersembunyi dalam hati sanubari rakyat, masih tertidur, dan hanya menantikan sentuhan yang tepat agar dapat berkembang dengan segala keindahannya. Ia merujuk pada sejarah Baroes yang sudah terkenal sejak lama sebelum Masehi, disebutkan oleh Ptolemeus dan Marco Polo, serta dalam Negarakertagama dan tulisan-tulisan Arab, Persia, dan Cina. Ini menunjukkan kemakmuran kota niaga tersebut dan menyiratkan keberadaan daerah pedalaman yang subur dan makmur.

Pane berargumen, jika kemajuan bangsa telah tercapai selama 50 tahun, pasti ada sesuatu yang mendorongnya ke atas, dan itu adalah kebudayaan bangsa itu sendiri yang masih terpendam. Ia juga menyinggung pandangan para ahli etnologi dan peneliti yang hanya dapat menelusuri sejarah Batak sampai sekitar tahun 1850-an, di mana orang Batak digambarkan sebagai kanibal. Pane tidak menolak fakta ini, tetapi ia mempertanyakan apakah para peneliti telah melihat segalanya dengan benar, atau apakah kanibalisme itu hanya ekses agama atau adat.

Ia membandingkan dengan kesalahan ahli antropologi yang memburu "the missing link" dalam teori Darwin. Oleh karena itu, ia berhak meragukan kebenaran keterangan tersebut. Bukan karena malu akan kenyataan itu, melainkan karena ingin menyampaikan bahwa mungkin saja para peneliti datang ke daerah Batak pada saat penduduknya sedang mengalami degradasi, padahal sebelumnya telah ada peradaban.

Dengan dipindahkannya kerajaan Sriwijaya, yang menguasai seluruh Indonesia hingga Palembang pada awal abad pertama Masehi, Sumatra menjadi pusat perhatian arkeologi. Penelitian lebih lanjut menunjukkan adanya pengaruh kerajaan tersebut pada kebudayaan Jawa. Pane bertanya-tanya, apa saja yang masih tersembunyi oleh hutan belantara Sumatra yang perawan dari para peneliti, bahkan dari mata paling tajam sekalipun?

Pendapat Pane ini tidak semata-mata didasari oleh rasa kebangsaan, melainkan lebih karena keinginannya akan penyelidikan ilmiah. Bagaimanapun, pendapatnya tidak hanya berdasarkan khayalan belaka. Begitu memilih dalil bahwa kekuatan suatu bangsa sebagian besar terdapat dalam kebudayaannya, maka dengan berpikir secara konsekuen, ia sampai pada kesimpulan bahwa Jong Bataks Bond memiliki hak untuk berdiri.
Pendirian perkumpulan ini bukan merupakan pembongkaran terhadap ide Jong Sumatranen Bond. Persetujuan dan bahkan kegembiraan penuh dari Pengurus Besar JSB terhadap berdirinya perhimpunan anak-anak Batak, kiranya dapat menghapuskan kesan bahwa mereka bertindak tidak jujur. Pane, yang memilih anggota panitia persiapan, menegaskan bahwa mereka adalah pemuda Sumatra yang bersemangat dan berharap saudara-saudari baik yang perempuan maupun laki-laki yang tidak bertempat tinggal di Batavia, tidak melupakan hal ini.
Meskipun mereka sangat menginginkan bersatupadunya seluruh rakyat Sumatra, mereka tidak buta terhadap kenyataan bahwa tidak seorang pun dapat memaksa suatu bangsa dengan tangan besi. Sejarah rakyat Minangkabau dan Batak, dua bangsa paling terkemuka di Sumatra saat itu, terlalu berjauhan satu sama lain untuk mengharapkan keberhasilan pekerjaan JSB secara nyata. Ia berharap saudara-saudara dari Minangkabau maupun Batak dapat memahami sepenuhnya tujuan aksi mereka, agar secara persaudaraan mereka dapat bersama-sama menuju cita-cita persatuan orang-orang Sumatra.

Bagian paling pelik dalam pidatonya adalah masalah nama perhimpunan. Berangkat dari pendapat bahwa suatu bangsa harus menjadi kesatuan kebudayaan, timbul pertanyaan apakah antara orang Batak dan Mandailing terdapat ikatan kebudayaan.

Sanusi Pane mengamati bahasa sebagai penjelmaan utama kebudayaan. Ada persamaan nyata antara bahasa Batak atau logat Batak dan Mandailing, bukan sekadar persamaan umum bahasa-bahasa Indonesia yang bersumber pada Jawa Kuno, melainkan persamaan yang membuat keduanya dapat dianggap satu bahasa.

Pane yakin bahwa dalam hati, kedua suku bangsa ini adalah satu, meskipun pengaruh luar telah menimbulkan keretakan. Namun, ia tidak berpendapat bahwa orang Mandailing harus selalu menganggap dirinya orang Batak. Ia tidak menutup kemungkinan bahwa orang Mandailing harus melalui jalan evolusi yang berbeda dari jalan revolusi orang Batak. Tidak bertanggung jawab untuk menghalangi evolusi, dan tidak ada bangsa di dunia yang dapat memaksa golongan yang ingin memisahkan diri untuk tetap bersatu. Jika orang Mandailing secara masal tidak mau mengakui dirinya sebagai orang Batak, maka yang mempertahankan nama Batak tidak perlu melontarkan kritik.

Oleh karena itu, masalah nama perhimpunan yang akan didirikan tidak lagi sulit. Orang-orang Mandailing yang ingin bergabung menunjukkan bahwa mereka merasa satu dengan orang Batak. Biarlah mereka menerima nama Jong Bataks Bond, karena tidak mengakui perasaan bersatu hanya karena sebuah nama adalah kepicikan semata. Ia menegaskan, pribadi seseorang akan tetap sama, apapun samaran yang digunakan. Demikian pula halnya dengan suatu bangsa, bahwa bangsa itu memiliki kepribadian, telah diakui sejak Plato hingga para sosiolog modern.

Bagi mereka yang merasa sama sekali berbeda dari orang Batak, dan ini tidak dapat disesali siapa pun, lebih baik menjauh dari perhimpunan ini karena tidak akan ada titik persamaan. Namun demikian, mereka diharapkan dapat hidup berdampingan sebagai Pemuda Sumatra.

Dalam risalah singkatnya, Pane menyimpulkan bahwa tidak ada pihak yang berhak mencaci maki pihak lain, karena dengan demikian berarti menghormati jiwa suatu bangsa yang sedang menunjukkan sikapnya. Perhimpunan ini harus diberi nama Jong Bataks Bond karena mayoritas pendirinya adalah orang Batak.

Akhirnya, Pane memberikan pesan penting bagi anggota perhimpunan. Jika ingin perhimpunan ini berumur panjang, jangan pernah masuk dengan pertanyaan tentang keuntungan yang akan diperoleh, melainkan dengan pertanyaan tentang apa yang dapat diberikan. Jangan biarkan kepentingan pribadi menjadi pendorong keanggotaan, melainkan rasa cinta terhadap rakyat Batak yang menantikan mereka sebagai anak-anaknya, dan cinta terhadap cita-cita Pemuda Sumatra. Dengan demikian, tidak seorang pun dapat berkata tentang perhimpunan tersebut: "Seorang peziarah mau melihat indahnya Pagi hari, akan tetapi menolak mengambil Cinta sebagai Pembimbingnya sehingga ia sengsara tersesat di lorong-lorong sang Malam Buta." 

Esai ini, yang ditulis pada tahun 1916 dan diterbitkan kembali dalam buku Maju Setapak (1981), tetap relevan sebagai refleksi mendalam tentang identitas, nasionalisme, dan peran kebudayaan dalam pembentukan bangsa.


https://www.google.com/amp/s/mojok.co/esai/arsip/upaya-sanusi-pane-melepas-batak-dari-minang/amp/


Posting Komentar

0 Komentar