Provinsi Deir Ezzour di Suriah timur kini menghadapi kenyataan pahit sebagai wilayah yang terbelah secara politik dan ekonomi antara dua otoritas: pemerintah pusat di Damaskus dan Administrasi Otonom Suriah Timur Laut (AANES) yang didukung militer SDF (Syrian Democratic Forces). Perpecahan ini tak hanya membentuk dua pusat kekuasaan yang saling bersaing, tetapi juga menciptakan dua wajah ekonomi yang berbeda dalam satu wilayah geografis. Di tengah upaya pemulihan nasional pascaperang, Deir Ezzour menjadi contoh nyata dari ketimpangan pembangunan yang lahir dari fragmentasi kekuasaan.
Di wilayah yang dikuasai Damaskus, termasuk pusat kota Deir Ezzour dan beberapa kota di wilayah barat dan selatan seperti Al-Mayadin dan Albu Kamal, otoritas lokal tampak semakin aktif dalam melakukan pengawasan dan penertiban layanan publik, termasuk sektor vital seperti distribusi roti. Upaya ini terlihat dari gencarnya razia yang dilakukan oleh Direktorat Perdagangan Dalam Negeri dan Perlindungan Konsumen di berbagai lokasi, termasuk di kota Mo Hassan dan Zubari. Otoritas Damaskus berupaya mengendalikan mutu layanan pangan melalui kontrol harga dan spesifikasi teknis, meski masih menghadapi berbagai tantangan terkait logistik dan bahan baku.
Namun, meski ada upaya nyata dari pemerintah pusat, kondisi ekonomi di wilayah yang mereka kuasai masih jauh dari stabil. Infrastruktur yang rusak berat akibat perang, keterbatasan akses terhadap bahan baku seperti tepung dan ragi, serta lemahnya mekanisme distribusi, membuat layanan dasar seperti roti tetap menjadi sumber keluhan publik. Sejumlah warga melaporkan kekurangan berat roti per ikatan, kualitas rendah, dan distribusi yang tidak merata, menunjukkan bahwa intervensi Damaskus belum cukup menjamin kebutuhan dasar masyarakat.
Sementara itu, sisi timur laut Deir Ezzour yang berada di bawah kendali AANES dan pasukan SDF justru memperlihatkan dinamika ekonomi yang sangat berbeda. Wilayah ini secara administratif terhubung dengan sistem ekonomi yang lebih terbuka dan sebagian besar didukung oleh aliran bantuan internasional dan pendapatan dari ladang minyak. Beberapa kota seperti Al-Shaddadi, Al-Suwar, dan wilayah sekitar ladang minyak Omar menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang relatif lebih baik dibandingkan daerah yang dikendalikan Damaskus.
Pendapatan utama wilayah AANES berasal dari eksploitasi sumber daya alam, terutama minyak, yang diekspor secara ilegal atau dimanfaatkan untuk kepentingan lokal. Infrastruktur pasar lebih terbuka dan aktivitas perdagangan cenderung lebih dinamis. Meski tidak luput dari masalah inflasi dan kelangkaan barang impor, wilayah ini secara umum dianggap lebih stabil dalam hal pasokan pangan, layanan kesehatan, dan pendidikan. Ini menjadikannya lebih makmur dibandingkan wilayah barat Deir Ezzour yang berada di bawah kontrol pemerintah pusat.
Namun demikian, stabilitas ekonomi di wilayah AANES tidak sepenuhnya bebas dari masalah. Ketergantungan terhadap pendanaan eksternal, kurangnya pengakuan hukum internasional, serta tekanan militer dari berbagai pihak, termasuk keengganan suku-suku mayoritas Arab untuk mengakui otoritas AANES/SDF yang dinilai menindas karena memaksa anak-anak Arab wajib militer atau didenda dan berbagai kebijakan lainnya, menambah ketidakpastian masa depan kawasan ini. Di samping itu, ada juga laporan tentang korupsi dan ketimpangan distribusi kekayaan di wilayah-wilayah penghasil minyak.
Perbandingan antara dua bagian Deir Ezzour ini mencerminkan perbedaan pendekatan dalam mengelola ekonomi pascakonflik. Pemerintah pusat Suriah mengandalkan pendekatan birokratis yang dikritik lamban dan terpusat, sedangkan AANES mengandalkan struktur semi-otonom yang lebih fleksibel namun tidak memiliki legitimasi penuh secara hukum. Dalam jangka pendek, wilayah timur laut terlihat lebih mampu menjaga stabilitas ekonomi lokal, meskipun daya tahan jangka panjangnya masih menjadi pertanyaan.
Keadaan ini memperkuat kesan bahwa Deir Ezzour telah menjadi wilayah eksperimen dua model pemerintahan yang berbeda dalam satu negara. Sementara warga di barat harus bertahan hidup dengan sistem kupon, layanan terbatas, dan birokrasi yang kaku, warga di timur menikmati relatif lebih banyak ruang gerak ekonomi, meski di bawah otoritas yang belum sepenuhnya mapan. Ini menciptakan ketimpangan yang semakin mencolok dari hari ke hari.
Pemerintah Suriah sendiri tampaknya menyadari ketimpangan ini dan mencoba melakukan perbaikan bertahap. Penertiban terhadap roti adalah bagian dari usaha Damaskus untuk menunjukkan bahwa negara tetap hadir di tengah masyarakat. Namun, tantangan yang dihadapi sangat besar, dari keterbatasan anggaran negara hingga sanksi internasional yang masih membatasi pergerakan ekonomi Suriah secara luas.
Di sisi lain, AANES berupaya membangun legitimasi lokal melalui penyediaan layanan publik, pembangunan ekonomi lokal, dan kampanye stabilitas. Namun, upaya tersebut juga sering dipandang sebagai bagian dari proyek jangka panjang yang bertentangan dengan visi keutuhan wilayah Suriah. Ini menimbulkan dilema geopolitik baru di tengah proses rekonsiliasi nasional yang belum menunjukkan hasil konkret.
Para pengamat regional menilai bahwa selama Deir Ezzour tetap terbelah secara politik dan administratif, maka kesenjangan ekonomi di antara kedua wilayah akan terus melebar. Bahkan ada kekhawatiran bahwa ketimpangan ini dapat memicu konflik horizontal baru di masa depan, antara kelompok masyarakat yang merasa tertinggal dengan mereka yang mendapat akses lebih luas terhadap sumber daya.
Situasi Deir Ezzour juga menjadi perhatian dalam rapat-rapat diplomatik internasional, khususnya yang membahas rekonstruksi Suriah. Banyak negara donor yang enggan menyalurkan bantuan ke wilayah-wilayah yang tidak berada di bawah otoritas pusat, namun di sisi lain melihat potensi ekonomi lebih besar di wilayah-wilayah seperti yang dikuasai AANES. Hal ini menambah kerumitan dalam menyusun peta jalan rekonstruksi yang adil dan inklusif.
Sementara itu, masyarakat Deir Ezzour, baik yang tinggal di barat maupun timur, tetap menjalani hari-hari dalam kondisi serba tidak pasti. Bagi banyak keluarga, masalah terbesar bukan lagi soal politik, tetapi soal bertahan hidup, mendapat roti, air bersih, dan akses kesehatan dasar. Ini adalah realitas keras dari kehidupan pascaperang yang tak kunjung usai.
Dalam jangka panjang, hanya rekonsiliasi politik nasional yang dapat menyatukan kembali Deir Ezzour dan membangun ekonomi yang lebih merata. Namun untuk saat ini, dua wajah ekonomi masih membentang jelas: satu menghadapi krisis pasokan dan kelangkaan, satu lagi menikmati aliran minyak dan perdagangan—dua kutub dalam satu provinsi yang sama, namun dengan nasib yang sangat berbeda.
0 Komentar