Perayaan 17 Agustus misalnya diartikan sebagau HUT Kemerdekaan RI di Indonsia, namun di sisi lain dapat juga dianggap sebagai hari kesedihan kepada Belanda sebagai pejajah.
Begitu juga di Yaman. Kelompok pemberontak Houthi yang memerintah di Sanaa merayakan secara besar-besaran Revolusi 21 September karena di momen itulah merek berhasil menguasai Sanaa.
Bagi pemerintah yang diakui dunia internasional di Yaman hari itu dapat disebut hari kesedihan terusir dari Sanaa atau hari dimulainya konflik Yaman yang tak kunjung selesai sampai sekarang.
Kini, jabatan presiden Yaman dipegang Rashad Al Alimi sebagai ketua dewa kepresidenan.
Sebagai balasan, pemerintah Yaman melakukan parade besar-besaran di Marib untuk memperingati Revolusi 26 September, untuk memperingati berdirnya negara Yaman usai lengsernya Raja Mutawakkiliyah.
Di lain sisi hal itu dapat juga dimaknai hari kesedihan bagi Syiah Zaidiyah usai berakhirnya kekuasaan imamat syiah tersebut yang kini diwarisi kelompok Houthi.
Sebentar lagi, Yaman juga akan menggelar perayaan Revolusi 14 Oktober untuk merayakan Hari Pembebasan Yaman.
Hari Pembebasan Yaman diawali aksi demo anti Inggris yang mengusai Yaman Selatan atau tepatnya Arabia Selatan.
Aksi demo itu berhasil membuat Inggris hengkang, tapi dengan risiko Yaman Selatan berdiri dengan memasukkan Hadramaut yang saat itu sebuah entitas negara terpisah dan menjadi protektorat Inggris setara dengan Arabia Selatan di Aden.
Maka tak heran perayaan 14 Oktober ini juga dapat dimaknai oleh warga Hadramaut sebagai hari dimulainya penjajahan Hadramaut oleh Yaman Selatan.
Dan lebih tragis lagi, hari itu juga menjadi hari dibubarkannya belasan negara bagian, keemiran dan kesultanan yang menjadi bagian dari konfederasi yang membentuk Hadramaut, seperti Negara Al Katiri, Quaaiti, Tarim dan lain sebagainya.
0 Komentar