AS Akui Serangan Drone di Kabul Salah Sasaran, 7 Anak-anak Tewas!

Pemerintah Amerika Serikat mengakui bahwa serangan pesawat tak berawak (drone) mereka menewaskan 10 warga sipil di ibu kota Afganistan, Kabul.

Serangan itu menewaskan seorang pekerja bantuan sosial bernama Zamairi Akmadhi dan sembilan anggota keluarganya, termasuk tujuh anak. Anak bungsunya, Sumaya, baru berusia dua tahun.

Data ini merupakan temuan dalam investigasi yang dilakukan Komando Pusat AS.

Serangan mematikan itu terjadi beberapa hari setelah serangan teror di bandara Kabul, di tengah upaya evakuasi usai Taliban kembali menguasai Afghanistan.

Sebelum serangan itu, badan intelijen AS melacak mobil Zamairi selama delapan jam. Mereka meyakini laki-laki itu berkaitan dengan ISIS-K, kelompok simpatisan ISIS di Afghanistan.

Klaim itu dikatakan pimpinan Komando Pusat AS, Jenderal Kenneth McKenzie.

Mobil Zamairi, kata McKenzie, terlihat di sebuah kompleks yang terkait dengan ISIS-K. Gerakannya selaras dengan data intelijen soal rencana kelompok ISIS-K untuk menyerang bandara Kabul.

Pada satu titik, drone pengintai AS melihat sejumlah orang memuat barang yang tampak seperti bahan peledak ke bagasi mobil.

Namun setelah serangan itu baru diketahui bahwa barang itu adalah wadah air.

McKenzie menyebut serangan itu sebagai kesalahan tragis. Dia berkata, Taliban tidak terlibat dalam intelijen yang menyebabkan serangan itu.

Serangan drone AS terjadi ketika Zamairi berhenti di jalan masuk rumahnya yang berjarak tiga kilometer dari bandara Kabul.

Ledakan itu memicu ledakan lain, yang awalnya diklaim AS sebagai bukti bahwa mobil itu memang membawa bahan peledak.

Namun penyelidikan telah menemukan kemungkinan besar disebabkan oleh tangki gas propana di jalan raya.

Kerabat para korban, sehari setelah serangan tersebut, mengajukan permohonan untuk dievakuasi ke AS. Kepada BBC, mereka berkata telah menunggu panggilan telepon yang memberitahu mereka untuk pergi ke bandara.

Salah satu dari mereka yang tewas, Ahmad Naser, pernah menjadi penerjemah pasukan AS.

Korban lainnya pernah bekerja untuk organisasi internasional dan memegang visa yang memungkinkan mereka masuk ke AS.

Posting Komentar

0 Komentar