Strategi SDF Kurdi Kuasai Arab Mayoritas di Timur Suriah


Hasakah, Raqqa, dan Deir Ezzour adalah tiga wilayah strategis di timur laut Suriah yang mayoritas penduduknya Arab. Meski demikian, kontrol militer dan politik saat ini berada di tangan SDF yang dipimpin pasukan Kurdi, YPG dan YPJ. Keberhasilan ini menarik perhatian para pengamat internasional karena populasi Kurdi jauh lebih kecil dibanding Arab, namun mereka mampu mempertahankan dominasi selama bertahun-tahun.

Keunggulan militer menjadi salah satu faktor kunci. Pasukan inti SDF memiliki pelatihan tinggi, disiplin ketat, dan dukungan logistik dari koalisi internasional yang dipimpin Amerika Serikat, ditambah belakangan kedekatan dengan Rusia di bandara Qamishli dan eks pasukan rejim Bashar Al Assad. 

Awalnya YPG hanya kelompok kecil di kalangan Kurdi di Hasakah. Namun saat 'Musim Semi Arab' merebak, kelompok dominan Kurdi tak ingin dipergunakan Assad untui menekan kalangan oposisi, sehingga membuat Assad menyerahkan kendali (siskamling) perkampungan Kurdi ke YPG/PYD. Peshmerga Suriah gigit jari dan belakangan punah.

Setelah bekerja sama dengan AS dkk mengalahkan ISIS, pasukan YPG yang kemudian membesar menjadi SDF Kurdi mampu menaklukkan kota-kota mayoritas Arab dan menahan serangan kelompok bersenjata lokal. Hal ini memungkinkan SDF menempatkan pos militer di lokasi strategis, termasuk jalan utama, fasilitas energi, dan pusat kota.

Namun, penguasaan militer saja tidak cukup. SDF membentuk koalisi dengan unit Arab lokal yang disebut Syrian Arab Coalition atau Elite Forces Arab. Mereka ditempatkan sebagai aparat keamanan di wilayah masing-masing, yang secara resmi berada di bawah komando SDF. Strategi ini memberikan legitimasi lokal sekaligus menjaga stabilitas, sehingga penduduk Arab tidak merasa sepenuhnya dikuasai Kurdi, meski pangkat milisi Arab hanya kroco-kroco.

Dalam hal administrasi, SDF menerapkan pemerintahan otonomi de facto yang dikenal sebagai AANES. Struktur pemerintahan ini bersifat multi-etnis, menggabungkan Kurdi, Arab, Assyrian, dan minoritas lain. Arab lokal diberikan posisi administratif, namun keputusan strategis tetap berada di tangan milisi Kurdi. Pendekatan ini meminimalkan kemungkinan pemberontakan dan menjaga keberlangsungan pengelolaan wilayah.

Selain itu, SDF menekankan pemberian layanan sosial sebagai alat legitimasi. Pendidikan, kesehatan, dan keamanan menjadi prioritas utama bagi penduduk Arab. Dengan layanan dasar ini, banyak warga Arab menerima kehadiran SDF karena mereka melihat manfaat nyata bagi keseharian mereka, meski tetap berada di bawah kontrol militer Kurdi.

Kontrol senjata menjadi aspek penting lain. Milisi Kurdi memegang senjata berat dan titik strategis, sementara milisi Arab lokal diberi senjata ringan dan ditempatkan dalam unit koalisi yang masih dikendalikan SDF. Pembagian ini mencerminkan realitas demografis dan militansi; meskipun Arab mayoritas, pasukan Kurdi tetap menjadi kekuatan pengendali keamanan.

Beberapa penduduk Arab menyadari ketergantungan mereka terhadap SDF. Sebagian merasa dikontrol atau dipantau, terutama karena posisi keamanan strategis berada di tangan Kurdi. Namun, sebagian lainnya melihat keuntungan praktis: stabilitas relatif, perlindungan dari kelompok ekstremis, dan akses ke layanan dasar yang sebelumnya terbatas.

Ketegangan etnis ini tidak hanya bersifat militer, tetapi juga politis. Arab lokal terkadang menuntut lebih banyak posisi dalam administrasi dan milisi untuk mengurangi dominasi Kurdi. Negosiasi politik menjadi rutin dalam struktur AANES, dengan tujuan menjaga koeksistensi dan mencegah konflik internal.

Di Hasakah, populasi Kurdi sekitar 35–40 persen, sementara Arab mendominasi sekitar 50–55 persen. Kota-kota besar seperti Qamishli dan Hasakah menjadi pusat komando SDF, sementara Arab lokal diberi tanggung jawab administratif dan patroli ringan. Strategi ini memungkinkan SDF mempertahankan kendali tanpa harus mengandalkan mayoritas etnis sendiri.

Raqqa menjadi contoh lain. Dengan populasi Arab sekitar 80 persen, SDF berhasil menguasai kota melalui kombinasi militer superior dan pembentukan unit Arab lokal. Infrastruktur vital dan fasilitas keamanan dikuasai oleh milisi Kurdi, sedangkan milisi Arab bertugas sebagai penghubung antara pemerintah otonomi dan warga lokal.

Di Deir Ezzour, populasi Arab mencapai 85–90 persen. SDF menempatkan pasukan di titik strategis, termasuk kota besar dan pusat energi. Arab lokal diberi posisi administratif dan milisi lokal diintegrasikan ke dalam struktur SDF, tetapi keputusan penting tetap dikendalikan Kurdi. Layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan digunakan sebagai alat legitimasi politik.

Keunggulan militer pasukan Kurdi tetap menjadi faktor utama, terutama ketika menghadapi ancaman dari kelompok bersenjata atau pemberontak lokal. Dukungan udara internasional menambah efektivitas operasi SDF di wilayah mayoritas Arab. Hal ini memungkinkan Kurdi mempertahankan dominasi meski jumlah mereka lebih sedikit dibandingkan Arab.

Selain keunggulan militer, legitimasi politik menjadi kunci penguasaan. Arab lokal diberi kesempatan memimpin administrasi, tetapi unit keamanan dan strategi tetap dikendalikan SDF. Pendekatan ini mengurangi kemungkinan resistensi, sekaligus memastikan bahwa keputusan politik dan keamanan tetap di tangan milisi Kurdi.

Layanan sosial juga menjadi alat politik. Pendidikan, kesehatan, dan keamanan menjadi alasan bagi sebagian warga Arab untuk menerima kontrol SDF. Mereka melihat manfaat nyata bagi kehidupan sehari-hari, yang membuat dominasi Kurdi diterima secara pragmatis.

Kontrol senjata oleh Kurdi menimbulkan ketegangan etnis. Sebagian Arab merasa terkontrol atau terbatas dalam peran militer. Namun sebagian lain memahami situasi ini sebagai bentuk stabilitas yang tidak mereka miliki sebelumnya, sehingga meskipun ada dominasi, tetap ada penerimaan praktis.

Ketegangan ini juga berdampak pada struktur politik lokal. Negosiasi antara Arab dan Kurdi dalam administrasi AANES rutin dilakukan untuk menyeimbangkan kepentingan, mencegah konflik, dan mempertahankan stabilitas. Arab diberi posisi simbolis dan administratif untuk menurunkan resistensi.

Strategi koalisi militer Arab-Kurdi memungkinkan SDF mempertahankan wilayah mayoritas Arab. Milisi Arab berperan sebagai penghubung antara warga lokal dan milisi inti Kurdi, sehingga keberadaan SDF terlihat inklusif meskipun kontrol utama tetap di tangan Kurdi.

Keberhasilan SDF juga didorong oleh pengalaman militer sebelumnya. Dari berbagai peristiwa era Assad, SDF belajar mengatur wilayah mayoritas Arab melalui kombinasi kekuatan militer dan administrasi lokal. Model ini kemudian diterapkan secara konsisten di Hasakah, Raqqa, dan Deir Ezzour.

Legitimasi sosial dan politik menjadi elemen penting. Dengan memberikan layanan dasar, mengintegrasikan milisi Arab lokal, dan mempertahankan stabilitas, SDF mampu mengurangi ketegangan etnis dan mempertahankan kendali wilayah yang didominasi Arab.

Secara keseluruhan, strategi SDF di timur laut Suriah menggabungkan keunggulan militer, koalisi Arab, administrasi multi-etnis, dan layanan sosial. Kombinasi ini memungkinkan mereka menguasai wilayah mayoritas Arab meski populasi Kurdi lebih sedikit.

Dominasi ini tidak lepas dari tantangan. Ketegangan etnis, persepsi kontrol, dan tuntutan Arab lokal tetap ada. Namun, dengan pendekatan pragmatis yang menggabungkan kekuatan, legitimasi, dan layanan, SDF berhasil mempertahankan kontrol atas Hasakah, Raqqa, dan Deir Ezzour hingga saat ini.

Kini, meski sudah tanda tangan berintegrasi ke militer Damaskus di bawah Presiden Ahmed Al Sharaa, politik global SDF masih terlihat dominan, bahkan menekan Damaskus untuk mengakui kekuasaan mereka di Timur Suriah dalam kerangka federalisme sebagaimana Kurdistan di Irak.

Jadi di wilayah SDF Kurdi, orang Arab jadi kroco, sementara di Damaskus, orang Arab harus berbagi kekuasaan khususnya pada jabatan menteri dengan Kurdi, Druze, Alawite dll.

Posting Komentar

0 Komentar