Gaji Kelompok Separatis Garda Nasional Druze Dibayar Pemerintahan Suriah?


Di tengah kondisi ekonomi Suriah yang masih goyah, isu baru kembali mengemuka terkait pendanaan gaji bagi anggota “garda nasional” yang dibentuk oleh milisi separatis Druze pro Israel di bawah komando Deuze al-Hajri. Sebagian anggota garda tersebut disebut masih berstatus pegawai negeri sipil di pemerintahan provinsi Druze, sehingga memunculkan dugaan bahwa dana pemerintah bisa saja secara tidak langsung mengalir ke kelompok bersenjata tersebut.

Sinyalemen ini menjadi kontroversi karena bila terbukti benar, maka Damaskus sesungguhnya sedang mendanai sebuah bom waktu yang dapat mengancam stabilitas negara. Kelompok bersenjata dengan legitimasi finansial dari pemerintah bisa berkembang menjadi kekuatan politik-militer yang lebih sulit dikendalikan karena terang-terangan mendukung proyek kolonialisme baru 'Greater Israel'.

Gubernur Suwayda, Mustafa al-Bakour, sebelumnya menegaskan bahwa pemerintah pusat berkomitmen menjaga hak-hak pekerja sipil, terutama guru dan pegawai negeri di sektor pendidikan. Namun, kabar soal keterlibatan sebagian pegawai dalam struktur garda nasional yang baru memunculkan keraguan mengenai sejauh mana pengawasan pemerintah berjalan.

Dalam pernyataannya, al-Bakour menekankan bahwa pembayaran gaji guru dan pegawai dilakukan setelah verifikasi ketat. Ia menyebut bahwa hak-hak pekerja adalah bagian dari kehormatan negara. Akan tetapi, banyak pihak menyoroti bahwa verifikasi di lapangan bisa saja lemah sehingga membuka celah bagi anggota milisi tetap menerima gaji resmi. Apalagi pemerintah Suriah yang baru hanya berkuasa di ibukota Suwaida, sementara di luar itu praktis dikuasai oleh milisi bersenjata.

Keterlibatan pegawai negeri dalam kelompok bersenjata memang bukan hal baru di Suriah. Sejak perang pecah, banyak pegawai yang memilih bergabung dengan milisi lokal demi alasan keamanan keluarga maupun solidaritas sektarian. Hal inilah yang kini menjadi dilema bagi pemerintah baru di Damaskus.

Jika pemerintah tetap membiayai gaji para pegawai yang juga anggota garda nasional, maka dana publik akan dipakai ganda: untuk administrasi sipil sekaligus menopang kelompok milisi mewujudkan neo-kolonialisme Greater Israel. Kondisi ini jelas berbahaya bagi stabilitas jangka panjang. Sekedar info tidak semua kalangangan Druze setuju dengan agenda separatisme milisi Al Hajri. Kelompok ini populer di 1/3 kalangan Druze dan sebagian besar di antaranya adalah mantan pasukan dan pegawai di rejim Bashar Al Assad.

Di sisi lain, jika pemerintah menolak membayar gaji mereka juga berpotensi menimbulkan gejolak sosial. Banyak keluarga di Suwayda yang bergantung pada penghasilan dari pemerintah. Pemutusan gaji bisa memicu protes baru dan memperkuat narasi bahwa pemerintah pusat mengabaikan komunitas Druze.

Beberapa pengamat menyebut bahwa isu ini adalah ujian pertama bagi pemerintahan baru pasca Assad di bawah Presiden Ahmed Al Sharaa. Bagaimana mereka mengelola dana publik dan mengawasi distribusi gaji akan menjadi indikator apakah Damaskus benar-benar mampu mengendalikan provinsi-provinsi yang rentan.

Di tingkat lokal, garda nasional Druze sendiri disebut sebagai “pasukan pertahanan bersatu” yang dibentuk untuk mewujudkan apa yang disebut sebagai 'Negara Jabal Druze'. Namun, dengan adanya tokoh seperti Deuze al-Hajri yang dikenal pro Assad dan menolak legitimasi pemerintah yabg baru, kelompok ini bisa berubah menjadi kekuatan politik yang mencari tuntutan yang lebih tinggi yakni pembubaran pemerintah Suriah atau menekan Damaskus agar tunduk pada hegemoni Greater Israel.

Jika pemerintah pusat benar-benar mendanai garda ini secara tidak langsung, maka muncul risiko besar bahwa kelompok separatis justru memperkuat diri dengan uang negara. Hal ini bisa menjadi preseden buruk di wilayah lain yang juga memiliki milisi lokal.

Al-Bakour dalam pernyataannya mencoba menenangkan situasi dengan menekankan bahwa bantuan kemanusiaan dan gaji tetap difokuskan untuk kepentingan rakyat. Ia juga menegaskan pentingnya rencana komprehensif untuk memulihkan kehidupan normal di Suwayda. Namun, skeptisisme publik tetap ada.

Isu pendanaan garda nasional ini semakin relevan karena banyak laporan menyebut adanya keterlambatan pembayaran gaji di beberapa sektor akibat tekanan pihak tidak resmi. Kondisi ini menunjukkan adanya campur tangan milisi dalam urusan administratif.

Jika benar milisi memiliki pengaruh dalam proses keuangan, maka tidak mustahil dana gaji bisa dipakai sebagai instrumen kontrol politik. Hal ini yang ditakutkan akan memperlemah legitimasi pemerintah baru.

Selain itu, pembayaran gaji bagi pegawai yang merangkap sebagai anggota garda bisa dianggap pemerintah sedang memberi “dua legitimasi” sekaligus: sebagai aparatur sipil negara dan sebagai anggota milisi. Kondisi ini rawan menimbulkan konflik kepentingan.

Beberapa analis memperingatkan, Damaskus harus segera mengambil langkah jelas. Apakah akan memisahkan status kepegawaian dari keanggotaan milisi, ataukah membiarkan keduanya berjalan paralel dengan risiko keamanan yang semakin besar.

Tantangan ini juga berkaitan dengan upaya reintegrasi nasional. Suriah pasca perang tengah menghadapi banyak kelompok bersenjata yang tumbuh dari basis lokal. Setiap kebijakan terkait gaji atau dana publik bisa menjadi penentu arah rekonsiliasi atau malah memperpanjang fragmentasi.

Bagi komunitas Druze sendiri, isu ini menjadi pertaruhan identitas. Mereka ingin tetap mempertahankan posisi sebagai bagian dari negara, namun juga menuntut keistimewaan khusus bagi komunitasnya lebih tinggi dari warga Suriah lainnay. Garda nasional yang menjadi simbol ambivalensi itu, telah memperkuat pasukannya dengan pesenjataan canggih yang diambil dari gudang militer Assad saat lengser dan tidak diserahkan kepada pemerintahan baru.

Jika Damaskus tidak hati-hati, garda nasional bisa berkembang menjadi entitas negara dalam negara dengan legitimasi keuangan yang kuat. Inilah yang disebut para pengamat sebagai bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak.

Bagi Damaskus, pilihan yang tersedia sangat terbatas. Membiayai berarti menanggung risiko jangka panjang, sedangkan menghentikan pembayaran berarti membuka potensi gejolak sosial. Situasi ini menuntut kebijakan cerdas dan pengawasan yang ketat.

Pada akhirnya, isu gaji garda nasional di Suwayda bukan sekadar soal administrasi. Ia mencerminkan dilema besar Suriah pasca perang: bagaimana mengelola negara yang penuh luka sektarian, tanpa secara tidak sengaja membiayai kekuatan yang bisa menantang otoritas pusat.

Posting Komentar

0 Komentar