Dalam diskursus geopolitik, Tiongkok kerap digambarkan sebagai negara berdisiplin tinggi dengan arah kebijakan tunggal. Namun di balik citra itu, politik Tiongkok sama rumitnya dengan negara-negara berkonflik seperti Somalia, Suriah, Libya, dan Sudan. Kerumitan lahir dari tarik-menarik pusat daerah, pemerintahan paralel, pemberontakan, identitas, serta persaingan elite yang tak selalu tampak di permukaan.
Kerumitan pertama terlihat pada hubungan pusat dan pinggiran. Seperti Damaskus dengan wilayah-wilayah otonom de facto, Beijing juga mengelola kota-kota besar, provinsi kaya, dan kantong minoritas yang punya dinamika sendiri. Friksi fiskal, target pertumbuhan, dan penegakan kebijakan lingkungan sering berjalan zigzag sebelum menemukan titik temu.
Di lapisan lain, ada kompetisi institusional. Badan-badan pusat, pemerintah provinsi, dan konglomerat BUMN bersaing memperebutkan proyek, lisensi, dan akses pembiayaan. Ini mengingatkan pada Libya yang terpecah antara Tripoli dan Tobruk, hanya saja di Tiongkok vs Taiwan kompetisi dibingkai sebagai perlombaan kinerja, bukan legitimasi terpisah.
Persoalan identitas juga tidak sederhana. Seperti Sudan dan Suriah yang berjuang menata mosaik etnis, Tiongkok menghadapi tantangan integrasi sosial, urbanisasi masif, dan kesenjangan antardaerah. Modernisasi yang cepat memunculkan ketegangan antara tradisi, agama, dan pola hidup baru yang serba digital.
Di wilayah ekonomi, ketidaksinkronan kebijakan kerap terjadi. Regulasi teknologi, properti, dan keuangan berubah cepat, memunculkan ketidakpastian mirip gejolak kebijakan di negara-negara berkonflik. Bedanya, Tiongkok menyalurkan guncangan itu melalui intervensi makro yang agresif dan koordinasi lintas lembaga.
Namun kerumitan politik tidak otomatis berujung stagnasi. Tiongkok justru mengubahnya menjadi “kompetisi terkendali” antardaerah. Gubernur dan wali kota berlomba menarik investasi, menaikkan ekspor, dan membangun ekosistem industri. Model ini menyalurkan ambisi elite ke dalam metrik kinerja yang terukur.
Di bidang infrastruktur, Tiongkok menerapkan kebijakan “bangun dulu, integrasikan kemudian”. Jalan tol, pelabuhan, kereta cepat, dan jaringan listrik dibangun sebagai tulang punggung pasar domestik. Ketika politik berbelit, logistik yang efisien menjaga roda ekonomi tetap berputar.
Rantai pasok menjadi peredam keributan. Seperti Somalia, Suriah, Libya, dan Sudan yang kerap terhenti karena gangguan pasokan, Tiongkok menumpuk kapasitas di hulu dan hilir, mengembangkan substitusi impor, sekaligus menjaga cadangan strategis. Redundansi dipandang sebagai asuransi nasional.
Di tingkat teknologi, negara mendorong riset terapan agar cepat menjejak pasar. Universitas, inkubator, dan BUMN dijahit lewat skema pembelian awal, sehingga inovasi tidak berhenti di laboratorium. Ketika regulasi bergeser, portofolio teknologi yang luas memberi ruang pivot tanpa mematikan ekosistem.
Hubungan paralel Beijing–Taipei menjadi studi kasus penting. Ada “pemerintahan ganda” dalam satu ekosistem budaya dan bisnis, tetapi keduanya lebih sering beradu kecanggihan daripada peluru. Rantai pasok semikonduktor, elektronik, dan komputasi tepi justru saling terhubung, menciptakan kompetisi kualitas dan efisiensi.
Adu inovasi lintas Selat menumbuhkan standar tinggi. Perusahaan berlomba menguasai desain chip, manufaktur presisi, dan perangkat lunak industri. Alih-alih perang tak berkesudahan, pasar global memaksa kedua sisi menang lewat produk, bukan semata propaganda.
Pelajaran untuk Somalia, Sudan, Suriah, dan Libya adalah memindahkan arena pertarungan dari medan tempur ke papan skor kinerja. Tetapkan indikator sederhana—biaya logistik, waktu perizinan, ketenagalistrikan stabil—dan biarkan provinsi serta kota berlomba meraih nilai terbaik yang dipublikasikan rutin.
Stabilisasi layanan dasar harus netral politik. Air bersih, listrik, dan kesehatan primer dibuat “kebal konflik” melalui badan layanan yang dilindungi hukum dan didanai berbasis output. Ketika layanan terus berjalan, kepercayaan publik menekan insentif aktor bersenjata untuk merusak.
Bangun koridor ekonomi sebagai peta damai. Pilih rute jalan, pelabuhan kering, dan pasar grosir lintas wilayah yang dijaga semua pihak karena manfaatnya dirasakan bersama. Keamanan lalu lintas barang menjadi kepentingan bersama yang mengalahkan agenda sempit.
Dorong desentralisasi fiskal bertanggung jawab. Beri ruang daerah mengutip retribusi terbatas untuk membiayai infrastruktur mikro, dengan audit eksternal dan publikasi laporan tiga bulanan. Kompetisi pajak yang sehat mengundang UMKM naik kelas tanpa mematikan basis penerimaan nasional.
Investasi pada talenta harus lintas faksi. Beasiswa vokasi, politeknik industri, dan program pemagangan dengan kontrak kerja riil menciptakan mobilitas sosial. Ketika anak muda melihat masa depan di pabrik, bengkel, dan studio rintisan, daya tarik senjata memudar.
Gunakan teknologi sebagai bahasa bersama. Registrasi lahan digital, pembayaran nontunai untuk bantuan sosial, dan sistem pengadaan daring memotong rente. Jejak data yang terbuka memberi alat kepada masyarakat sipil untuk mengawasi tanpa perlu menghadapi aparat di jalanan.
Ciptakan “zona eksperimen kebijakan”. Pilih satu–dua kota untuk menguji reformasi perizinan, tata ruang, atau tarif energi industri. Jika berhasil, kloning ke kota lain. Jika gagal, batasi dampak. Logika uji-coba ini memungkinkan kemajuan di tengah politik yang belum rapi.
Perbanyak jembatan dagang ketimbang perbatasan ideologis. Pasar regional, pameran dagang, dan standardisasi mutu membuat pedagang lintas faksi saling membutuhkan. Ketika uang dan barang menyeberang setiap hari, rumor perang kehilangan pasarnya.
Akhirnya, yang membuat Tiongkok tetap melaju bukan absennya kerumitan, melainkan kemampuan mengurungnya dalam koridor produktif. Politik boleh riuh, tetapi jalan, listrik, sekolah, dan pabrik tetap bekerja. Itulah disiplin institusional yang patut ditiru oleh Somalia, Sudan, Suriah, dan Libya: menukar konflik yang menghancurkan dengan kompetisi yang membangun.
0 Komentar