Penjaga Pantai Suriah yang Baru Bukan di Bawah Pertahanan

Keputusan pemerintah Suriah untuk menempatkan penjaga pantai dan penjaga perbatasan di bawah Kementerian Dalam Negeri, bukan Kementerian Pertahanan, menandai sebuah langkah strategis yang mencerminkan dinamika politik dan keamanan negara pascaperang. Poster resmi yang dikeluarkan Kementerian Dalam Negeri Suriah baru-baru ini menunjukkan upaya merekrut tenaga ahli maritim guna membentuk “Penjaga Pantai Suriah” dengan fokus pada perlindungan kedaulatan laut.

Di banyak negara, penempatan lembaga semacam ini biasanya menjadi pilihan politik. Ada yang menaruhnya di bawah pertahanan karena dianggap bagian dari sistem pertahanan negara, ada juga yang menaruhnya di dalam negeri karena dianggap sebagai garda sipil paramiliter. Suriah tampaknya memilih jalur kedua.

Salah satu alasan utama bisa jadi adalah ingin menampilkan wajah sipil, bukan militer. Suriah yang masih berupaya keluar dari stigma perang saudara, mungkin merasa lebih tepat menempatkan penjaga pantai sebagai institusi dalam negeri yang mengedepankan keamanan publik ketimbang operasi militer murni.
Dengan model ini, penjaga pantai Suriah dapat difokuskan pada isu-isu penegakan hukum, seperti penyelundupan, imigrasi ilegal, perdagangan manusia, dan perlindungan lingkungan laut. Semua ini biasanya masuk ranah kementerian dalam negeri di banyak negara.

Sebaliknya, jika berada di bawah kementerian pertahanan, maka fungsinya lebih dominan ke aspek militerisasi laut, termasuk operasi bersama angkatan laut, patroli tempur, dan perang maritim. Model itu umum di negara-negara yang menghadapi ancaman eksternal intensif.

Dalam konteks Suriah, ancaman laut yang mereka hadapi lebih banyak terkait dengan penyelundupan senjata, jalur pengungsi, dan potensi infiltrasi. Karena itu, pendekatan paramiliter-polisi dipandang lebih sesuai. Ini menegaskan orientasi kebijakan keamanan Suriah yang tidak semata-mata militeristik.

Namun, ada implikasi lain yang perlu dicatat. Dengan menempatkan penjaga pantai di bawah kementerian dalam negeri, maka koordinasi dengan angkatan laut yang memang berada di bawah kementerian pertahanan akan membutuhkan mekanisme baru. Bisa timbul tumpang tindih atau bahkan tarik-menarik kewenangan di laut.

Untuk menghindari persoalan tersebut, biasanya dibentuk komando gabungan atau sistem koordinasi antar kementerian. Suriah kemungkinan akan mengadopsi model serupa dengan menekankan batas tegas: laut teritorial di bawah penjaga pantai, sedangkan operasi tempur strategis di bawah angkatan laut.

Selain itu, aspek pendanaan juga bisa berbeda. Anggaran pertahanan biasanya lebih besar, tetapi juga lebih terikat pada program militer. Sementara itu, anggaran kementerian dalam negeri mungkin lebih fleksibel untuk operasi harian, patroli rutin, dan perekrutan tenaga teknis sipil.

Keuntungan lain dari model dalam negeri adalah peluang rekrutmen lebih luas. Poster rekrutmen resmi menunjukkan bahwa Suriah membuka kesempatan bagi berbagai latar belakang profesional, mulai dari insinyur maritim, penyelam, teknisi, hingga ahli lingkungan laut. Ini bukan hal umum jika berada di bawah kementerian pertahanan.

Model ini juga memungkinkan Suriah menampilkan citra bahwa keamanan laut bukan hanya urusan tentara, tetapi urusan masyarakat secara luas. Dengan demikian, ada pesan politik bahwa institusi sipil kembali berperan setelah bertahun-tahun didominasi struktur militer.

Dari sisi hukum internasional, penempatan penjaga pantai di bawah dalam negeri justru memperkuat klaim bahwa mereka beroperasi sebagai aparat penegak hukum sah di laut, bukan pasukan tempur. Hal ini penting ketika berhadapan dengan kapal asing atau organisasi internasional.

Suriah mungkin juga mencontoh model negara-negara Arab lain, seperti Arab Saudi, yang menaruh Penjaga Perbatasan di bawah Kementerian Dalam Negeri, meskipun tetap berkoordinasi erat dengan angkatan laut. Pola ini terbukti efektif untuk menghadapi ancaman asimetris.

Tetapi risiko tetap ada. Dalam situasi perang besar, keberadaan dua otoritas terpisah—angkatan laut dan penjaga pantai—bisa menimbulkan kebingungan komando. Diperlukan struktur darurat di mana penjaga pantai bisa ditempatkan sementara di bawah kendali pertahanan.

Secara politik, langkah ini juga bisa dibaca sebagai cara pemerintah Suriah mengendalikan institusi baru. Jika diletakkan di bawah pertahanan, maka secara otomatis akan dikuasai oleh struktur militer lama. Dengan menaruhnya di dalam negeri, pemerintah bisa membentuk lembaga yang lebih loyal secara langsung.

Dalam jangka panjang, penempatan penjaga pantai di bawah kementerian dalam negeri akan menguji kemampuan Suriah dalam membangun struktur keamanan ganda: satu sipil, satu militer. Jika berhasil, ini bisa menjadi model transisi yang memperkuat negara.

Tetapi jika gagal, maka justru bisa menambah keruwetan birokrasi keamanan. Dua otoritas berbeda di laut bisa menimbulkan konflik kepentingan, baik dalam hal sumber daya maupun otoritas operasional.

Kesimpulannya, Suriah sedang bereksperimen dengan model yang menempatkan Penjaga Pantai di bawah kementerian dalam negeri. Pilihan ini bukan tanpa risiko, tetapi juga membawa peluang untuk memperkuat peran sipil dalam keamanan maritim. Hasil akhirnya akan sangat ditentukan oleh bagaimana koordinasi dengan kementerian pertahanan dijalankan.

Posting Komentar

0 Komentar