Setelah lebih dari satu dekade hidup di pengasingan, sejumlah pengungsi Suriah mulai kembali ke tanah kelahirannya. Gelombang repatriasi ini terutama terlihat dari Kamp Zaatari, kamp pengungsi terbesar di Yordania yang sejak 2012 menampung ratusan ribu warga Suriah yang melarikan diri dari perang.
Salah satunya adalah Muhammad Abdul Halim, nama samaran seorang pria asal kota Jasem di pedesaan utara Daraa. Pekan lalu, ia pulang bersama istri dan tiga anaknya, membawa serta karavan yang pernah menjadi tempat tinggal mereka di kamp. Karavan itu kini ia dirikan kembali di samping rumah keluarganya yang sebagian hancur akibat serangan udara rezim pada 2015.
Keputusannya bukan tanpa beban. Abdul Halim meninggalkan kampung halamannya saat berusia 16 tahun, menghabiskan hampir separuh hidupnya di Zaatari, menikah, dan membesarkan anak-anaknya di sana. Bagi dirinya, kamp itu sudah menjadi tanah air kedua. Namun kerinduan pada Suriah lebih kuat, mendorongnya untuk mengambil langkah pulang.
Ia mengaku ingin membangun masa depan baru di negeri sendiri meski harus meninggalkan keluarga besarnya yang masih tinggal di kamp. “Saya ingin membangun hidup saya dan masa depan anak-anak di negara saya,” ujarnya kepada media lokal.
Karavan yang ia bawa sejatinya tidak diizinkan untuk keluar. Pihak pengelola kamp melarang pengungsi membawa pulang rumah prefabrikasi, tangki air, maupun lembaran seng. Semua itu dianggap sebagai properti UNHCR yang wajib dikembalikan sebelum kepulangan.
Namun, aturan itu tidak menghentikan Abdul Halim. Ia mengaku berhasil membawa karavan melalui jalur “tidak resmi” dengan bantuan perantara di kamp. “Ada cara tertentu agar karavan bisa keluar,” katanya singkat.
Fenomena semacam ini bukan hal baru. Banyak pengungsi telah membeli karavan dari UNHCR dengan dana pribadi selama bertahun-tahun, sehingga mereka merasa berhak membawanya pulang. Bagi sebagian besar keluarga, karavan adalah satu-satunya aset nyata yang bisa dijadikan rumah setibanya di Suriah.
Data UNHCR mencatat, sejak jatuhnya rezim Assad pada Desember 2024 hingga Agustus 2025, sebanyak 141 ribu pengungsi kembali dari Yordania. Dari jumlah itu, 20.156 orang berasal dari Kamp Zaatari dan 8.600 lainnya dari Kamp Azraq.
Juru bicara UNHCR di Yordania, Yusuf Thaha, mengakui pihaknya mengetahui adanya praktik jual beli karavan atau komponennya. Namun, ia menegaskan bahwa karavan adalah milik resmi lembaga dan seharusnya dikembalikan. “Meski begitu, kami terus berupaya mencari solusi terbaik bagi masalah ini,” ujarnya.
Pemerintah Yordania juga mengatur prosedur kepulangan. Seorang pejabat Kementerian Dalam Negeri menjelaskan bahwa setiap pengungsi yang ingin pulang secara sukarela harus mendaftarkan diri, melunasi kewajiban, menyerahkan karavan, serta memastikan tidak ada masalah hukum yang menghalangi kepulangan.
Selain itu, mereka juga menerima surat resmi yang ditujukan kepada otoritas perbatasan untuk memudahkan perjalanan keluar dari kamp menuju Suriah. Langkah ini diambil demi menjamin hak dan keselamatan para pengungsi.
Di tengah arus kepulangan ini, kisah lain datang dari Salim Hamed, pria asal kota Inkhil di utara Daraa. Ia melarikan diri pada 2013 saat berusia 18 tahun, masih lajang. Kini ia kembali sebagai ayah dengan istri dan anak-anaknya, sambil membawa karavan dari Zaatari.
“Dulu kami pergi sebagai anak-anak, sekarang kembali sebagai ayah,” katanya. Baginya, perubahan status itu mencerminkan kenyataan pahit: banyak keluarga Suriah kini lebih besar jumlahnya, sementara rumah di kampung halaman sudah tidak layak atau bahkan hancur akibat perang.
Selama di kamp, Salim membeli dua karavan untuk membangun rumah tangga. Di sana ia menikah, dikaruniai anak, dan menyelesaikan kuliah. Namun pada 2018, kebakaran melanda tempat tinggalnya, memaksanya membeli dua karavan baru dengan dana pribadi.
Ia kecewa karena UNHCR hanya memberi kompensasi berupa kasur dan dua panci. Meski demikian, ia tetap memilih membawa karavan ke Suriah, satu-satunya modal nyata untuk membangun kembali hidupnya di tanah kelahiran.
Kepulangan para pengungsi ini mencerminkan fase baru dalam krisis Suriah. Meski kondisi di dalam negeri masih rapuh, banyak warga memilih menanggung risiko demi pulang. Bagi mereka, kehidupan di kamp pengungsian terlalu panjang untuk disebut sementara.
Namun kepulangan ini menimbulkan tantangan baru: perumahan, infrastruktur, dan mata pencaharian di kota-kota asal. Sebagian besar rumah rusak atau hancur, lapangan pekerjaan terbatas, dan layanan publik belum sepenuhnya pulih.
Meski demikian, baik Abdul Halim maupun Salim menunjukkan optimisme. Mereka percaya bahwa kembali ke Suriah, meski penuh kesulitan, adalah langkah penting untuk membangun masa depan baru setelah lebih dari satu dekade di pengasingan.
Gelombang kepulangan dari Zaatari ini masih akan terus berlangsung, meski dengan segala kontroversi seputar karavan. Bagi para pengungsi, membawa pulang “rumah kecil” itu adalah simbol tekad untuk menetap kembali di negeri sendiri, setelah bertahun-tahun hidup sebagai tamu di negeri orang.
0 Komentar