Pengaruh Bahasa Bugis "Tabik" dalam "Tabe Ma" Batak: Sebuah Analisis Lintas Budaya


Sejarah adalah jalinan kompleks dari berbagai peristiwa dan interaksi yang membentuk peradaban. Di tengah pusaran sejarah Nusantara, bahasa menjadi saksi bisu pertukaran budaya yang dinamis.

Salah satu fenomena menarik yang kerap memicu diskusi adalah kemiripan atau bahkan kesamaan beberapa kosakata di antara bahasa-bahasa daerah yang berbeda. Pertanyaan tentang pengaruh bahasa Bugis "tabik" terhadap frasa Batak "tabe ma" dalam surat Sisingamangaraja XII kepada Pdt. I.L. Nommensen adalah salah satu contohnya, mengingat adanya kemungkinan koneksi dengan Dinasti Bugis yang sempat berkuasa di Kesultanan Aceh.

Surat bersejarah dari Raja Sisingamangaraja XII, tertanggal 20 Oktober 1903, memuat ungkapan "Tabi ma" sebagai pembuka salam hormat. Frasa ini sekilas memiliki kemiripan fonetis dan semantik dengan kata "tabik" atau "tabe" yang lazim digunakan dalam konteks bahasa Bugis dan Makassar sebagai ungkapan permisi atau salam hormat.

Kemiripan ini tentu mengundang tanya, apakah ada garis pengaruh langsung dari satu bahasa ke bahasa lainnya, terutama jika meninjau jejak sejarah dan interaksi antar-suku di wilayah Sumatera Utara dan sekitarnya.

Penelusuran etimologi kata "tabik" atau "tabe" seringkali mengarah pada akar kata yang lebih tua, bahkan ada yang menyebutkannya berasal dari bahasa Sanskerta. Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa kata ini telah terintegrasi kuat dalam khazanah bahasa-bahasa di Nusantara, termasuk Batak dan Bugis. Di Batak, "tabe ma" adalah bentuk sopan dari sapaan atau permintaan izin, yang mencerminkan adab dan penghormatan. Demikian pula di Bugis, "tabe" adalah penanda kesantunan yang esensial dalam interaksi sosial.

Konteks historis menjadi krusial dalam menganalisis potensi pengaruh ini. Pada masa lampau, jalur perdagangan dan penyebaran agama Islam turut membuka ruang bagi interaksi antarsuku yang intens.

Pedagang-pedagang Bugis dikenal sebagai pelaut ulung dan penyebar agama yang aktif, melayari berbagai pelosok Nusantara, termasuk pesisir Sumatera. Kehadiran mereka di pelabuhan-pelabuhan strategis di Sumatera, yang merupakan gerbang menuju pedalaman Batak, berpotensi membawa serta unsur-unsur kebudayaan dan kebahasaan mereka.

Hubungan antara Kesultanan Aceh dan suku-suku di pedalaman Sumatera Utara juga perlu dicermati. Meskipun terpisah oleh jarak geografis dan perbedaan budaya, terdapat dinamika politik dan perdagangan yang mengikat mereka. Jika benar bahwa pada periode tertentu Kesultanan Aceh dipimpin oleh dinasti berdarah Bugis, hal ini bisa menjadi jembatan tidak langsung bagi penetrasi pengaruh kebahasaan. Penguasa Aceh, dengan otoritas dan jaringannya, dapat memfasilitasi penyebaran kosakata atau frasa tertentu, meskipun tidak secara langsung ke suku Batak.

Namun, penting untuk ditekankan bahwa pengaruh kebahasaan tidak selalu bersifat satu arah atau langsung. Bahasa adalah entitas dinamis yang terus berkembang melalui adopsi, adaptasi, dan evolusi internal. Kemiripan kosakata bisa jadi merupakan hasil dari pinjaman timbal balik, konvergensi linguistik, atau bahkan kebetulan fonetis yang tidak terkait dengan pengaruh langsung. Lingkungan sosio-kultural masing-masing suku juga memainkan peran besar dalam membentuk penggunaan dan makna sebuah kata.

Dalam kasus "tabik" dan "tabe ma", meskipun ada kemiripan yang mencolok, sulit untuk menyimpulkan secara pasti adanya pengaruh langsung dari bahasa Bugis ke bahasa Batak berdasarkan satu kata saja. Diperlukan penelitian etimologis yang lebih mendalam dan komprehensif, melibatkan perbandingan leksikal, fonologis, dan sintaksis dari kedua bahasa, serta penelusuran jejak-jejak interaksi historis yang lebih eksplisit.

Catatan-catatan sejarah yang lebih rinci tentang perdagangan, migrasi, dan pertukaran budaya antara Batak dan Bugis akan sangat membantu.

Selain itu, perlu dipertimbangkan bahwa frasa "tabi ma" dalam surat Sisingamangaraja XII merupakan bagian dari ragam bahasa Batak yang kaya. Makna dan penggunaannya telah terintegrasi sepenuhnya dalam sistem linguistik Batak, bahkan jika ada asal-usul eksternal. Hal ini menunjukkan kemampuan adaptif bahasa dalam menyerap unsur-unsur baru dan menjadikannya bagian tak terpisahkan dari identitasnya.

Surat ini, yang ditulis pada Oktober 1903, merupakan salah satu komunikasi terakhir dari seorang pemimpin yang gigih dalam perjuangannya. Sisingamangaraja XII dikenal sebagai pejuang yang tak pernah surut dalam menghadapi kolonialisme Belanda. Perjuangan panjangnya melawan Belanda berlangsung selama puluhan tahun, menjadikannya salah satu figur sentral dalam sejarah perlawanan di Tanah Batak. Meskipun surat ini mungkin menunjukkan diplomasi atau strategi komunikasi tertentu, perjuangan fisiknya tak pernah berhenti.

Empat tahun setelah surat ini ditulis, tepatnya pada tanggal 17 Juni 1907, Raja Sisingamangaraja XII harus mengakhiri perlawanannya. Beliau gugur di Parlilitan, sebuah daerah di perbatasan Humbang dan Dairi. Kematian pahlawan Batak ini tidak terjadi begitu saja, melainkan akibat pengejaran ketat oleh pasukan Belanda yang dikenal dengan nama Marsose. Invasi Belanda ke Aceh dan Tanah Batak membuka babak baru penjajahan Belanda di Nusantara yang penuh kelam dan kekejaman.

Pasukan Marsose, yang terkenal kejam dan terlatih, berhasil mengepung Sisingamangaraja XII bersama pengikutnya.
Dalam insiden tragis tersebut, Sisingamangaraja XII gugur setelah tertembak. Turut gugur bersamanya adalah kedua putranya, Sutan Nagari dan Patuan Anggi, serta putrinya, Lopian. Juga para pasukan khusus dari Aceh yang dikirim Sultan Aceh untuk mengawal sang raja dll.

Kematian Sisingamangaraja XII menandai berakhirnya Perang Batak, sekaligus menjadi simbol ketabahan dan pengorbanan dalam menghadapi penjajah.

Peristiwa di Parlilitan itu menegaskan bahwa sekalipun sebuah perjuangan fisik berakhir, semangat perlawanan dan identitas budaya tidak pernah padam.

Pada akhirnya, kemiripan antara "tabik" Bugis dan "tabe ma" Batak dalam surat Raja Sisingamangaraja XII ini adalah pengingat akan interkoneksi yang tersembunyi dalam keragaman budaya Indonesia. Ini adalah undangan untuk terus menelusuri benang merah sejarah dan linguistik yang mengikat berbagai suku bangsa, mengungkapkan bagaimana bahasa-bahasa Nusantara saling berinteraksi dan memperkaya satu sama lain, membentuk mozaik kebudayaan yang unik dan mempesona. Lebih dari sekadar kesamaan bunyi, ini adalah cerita tentang perjalanan kata melintasi waktu dan ruang, mengukir jejak peradaban yang tak terputus, sebuah warisan yang tetap hidup meskipun pahlawannya telah gugur dalam perjuangan.

Isi surat:

Terjemahkan

Surat Raja Sisimangaraja XII kepada Pdt I.L Nommensen..
SURAT NI RAJA SISINGAMANGARAJA XII TU TUAN I.L. NOMMENSEN

Terjemahan dalam aksara batak ke Bahasa Batak 

Ahu surat ni Rajanta Sisingamangaraja mandapothon Tuan Nomensen di Sigumpar Habinsaran. 
Nuaeng hipas be ma Tuan. 
Tabi ma,
Alai dibaen na manongos surat ahu di Tuan nuaeng, 
on ma sian mulana. 
Nahinan ho do mulana dohot guru Heman mangula hata i. 
Dung i TAROSE hamu. 
Dung i laho ho tu bariba las rohangku. 
Hurimpu ai anggo panimbanganhu tung sae do roham dohot bisukmu pasaut sangkap ni roham. 

Asa nuaeng pe da, Tuan, 
tung torangma baen balos ni suratton manang na tarbahen hamu do laho marhata tu bariba manang na sinurat tarbaen ho tu batau (Betawi?).

Olat ni pe hatangki pingkiri putus ni pingkiranmu. 
Paboa ma di suratmu asa huboto. 
Boti ma. 
Hipas be ma hita.

Singamangaraja Diiri (Dairi?).

Pearaja Dairi ari 20 Oktober 1903.

Artinya oleh AI:

Surat Raja Sisingamangaraja XII kepada Pdt. I.L. Nommensen

Saya, surat dari Raja kita Sisingamangaraja, menemui Tuan Nomensen di Sigumpar Habinsaran. Sekarang Tuan sudah sehat, ya. Salam hormat.

Adapun saya mengirim surat ini kepada Tuan sekarang, ini alasannya. Dahulu kala, Tuanlah yang pertama, bersama Guru Heman, mengerjakan firman (Tuhan) itu. Kemudian kalian berhenti. Lalu Tuan pergi ke seberang, saya senang. Saya pikir, berdasarkan pertimbangan saya, hati dan hikmat Tuan cukup untuk melaksanakan kehendak hati Tuan.

Maka dari itu sekarang, Tuan, terangkanlah dengan jelas balasan surat ini, apakah Tuan bisa pergi berbicara ke seberang atau apakah Tuan bisa menulis ke Batavia (Betawi)?

Sekian perkataan saya. Pikirkanlah matang-matang keputusan Tuan. Beritahukanlah dalam surat Tuan agar saya tahu. Begitu saja. Semoga kita semua sehat.

Singamangaraja Diiri (Dairi?).
Pearaja Dairi, tanggal 20 Oktober 1903.

Catatan:
 * "Tabi ma": Ini adalah ungkapan salam hormat dalam Bahasa Batak, mirip dengan "tabik" yang sudah kita bahas sebelumnya.

 * "TAROSE hamu": Kata ini kemungkinan besar merujuk pada "berhenti" atau "berakhir". Dalam konteks ini, bisa berarti berhenti dalam pekerjaan atau kegiatan sebelumnya.

 * "bariba": Secara harfiah berarti "seberang". Dalam konteks surat ini, kemungkinan besar merujuk pada wilayah lain atau mungkin kembali ke tempat asal Nommensen (Eropa), atau bisa juga berarti pihak lain dalam suatu perundingan.

 * "batau (Betawi?)": Ini adalah spekulasi yang cukup kuat. Pada masa itu, Batavia adalah pusat pemerintahan kolonial dan komunikasi penting sering kali berpusat di sana.

Analisa:

Kata tabik atau variasinya seperti tabe dan tabea digunakan oleh beberapa suku bangsa di Indonesia, terutama sebagai salam atau ungkapan hormat dan permisi. Ini menunjukkan kekayaan budaya dan linguistik Nusantara.

Beberapa suku yang dikenal menggunakan kata ini antara lain:

 * Suku Lampung: Di Lampung, "Tabik pun!" adalah salam khas yang sangat dikenal dan sering diucapkan dalam berbagai acara formal maupun informal. Balasannya biasanya "Iya pun!".

 * Suku Bugis dan Makassar: Di Sulawesi Selatan, kata "tabe" sangat umum digunakan sebagai ungkapan permisi atau salam hormat, terutama saat melewati orang lain atau memasuki suatu tempat. Kata ini mencerminkan sikap sopan santun dan ramah tamah masyarakatnya.

 * Suku Sasak (Lombok): Kata "tabik" juga digunakan di Lombok oleh Suku Sasak dengan arti "permisi". Penggunaannya sangat dihargai oleh masyarakat setempat jika wisatawan mengucapkannya.

 * Suku Minangkabau: Kata "tabik" juga merupakan pinjaman dari bahasa Minangkabau.

 * Suku Maluku (Ambon): Di Maluku, terutama Ambon, kata "tabea" sering digunakan sebagai salam, baik di awal maupun akhir komunikasi, dengan pengucapan yang lebih tegas.

Meskipun secara etimologi kata "tabik" banyak ditelusuri berasal dari bahasa Sanskerta "kÅŸantavya" atau Santabi (yang berarti maaf), penggunaannya di berbagai suku telah beradaptasi dan memiliki makna yang lebih luas sebagai salam, hormat, atau permisi. Hal ini menunjukkan bagaimana sebuah kata dapat menyebar dan berasimilasi dalam berbagai bahasa daerah di Indonesia, memperkaya khazanah kebahasaan.


https://www.facebook.com/groups/839443069890470/permalink/2162830804218350/?mibextid=Nif5oz

Posting Komentar

0 Komentar