Melihat Sistem Peradilan Libya di Tengah Dualisme Kekuasaan


Konflik politik yang terus berlarut di Libya sejak jatuhnya Muammar Khadafi pada 2011 telah melahirkan realitas institusional yang terpecah, termasuk dalam ranah sistem peradilan. Meski secara konstitusional Libya menganut sistem hukum terpusat dengan Mahkamah Agung sebagai otoritas yudikatif tertinggi, kenyataannya lembaga peradilan negara itu kini berjalan di bawah dua pemerintahan yang saling bersaing: satu di Tripoli dan satu lagi di Benghazi.

Pemerintahan yang berbasis di Tripoli, dikenal sebagai Pemerintah Persatuan Nasional (GNU) dan diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tetap mempertahankan Mahkamah Agung Libya sebagai lembaga yudisial tertinggi. Mahkamah Agung ini secara administratif beroperasi di Tripoli dan masih menjalankan fungsi kasasi, konstitusional, serta pengawasan terhadap sistem peradilan di wilayah barat dan sebagian wilayah selatan negara tersebut.

Sementara itu, kubu tandingan yang berbasis di timur Libya, yakni Pemerintahan Sementara yang berafiliasi dengan House of Representatives (HoR) di Tobruk dan didukung oleh Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Khalifa Haftar, menjalankan sistem peradilan tersendiri di wilayah kekuasaannya. Meski tidak membentuk Mahkamah Agung baru secara eksplisit, pemerintahan di Benghazi mengelola pengadilan dan otoritas yudisial lokal secara otonom, memutuskan perkara-perkara hukum tanpa merujuk ke Tripoli.

Hal ini menimbulkan kekacauan hukum dan ketidakpastian yuridiksi di tingkat nasional. Putusan hukum yang dikeluarkan Mahkamah Agung di Tripoli tidak diakui oleh otoritas di Benghazi, begitu pula sebaliknya. Masyarakat sipil, pengacara, dan pengusaha menghadapi risiko hukum ganda ketika harus berhadapan dengan sistem peradilan yang berbeda-beda tergantung wilayah administratif yang berlaku.

Ketidakmampuan untuk menyatukan sistem yudisial ini berdampak besar terhadap proses transisi demokrasi di Libya. Misalnya, upaya menggelar pemilu nasional pada tahun-tahun sebelumnya selalu gagal di antaranya karena konflik putusan hukum antara dua pemerintahan. Mahkamah Agung Tripoli pernah membatalkan sejumlah regulasi pemilu yang dibuat oleh parlemen timur, sementara lembaga hukum di timur justru menuduh Mahkamah Tripoli tidak sah.

Meskipun secara hukum Libya hanya mengakui satu Mahkamah Agung, fragmentasi politik telah menciptakan situasi di mana dua sistem hukum berjalan paralel, masing-masing mengklaim legitimasi. Kedua kubu menggunakan alat hukum sebagai senjata politik, bukan hanya untuk menyelesaikan perkara sipil atau pidana, tetapi juga untuk mempertahankan kekuasaan dan menolak legitimasi lawan politik.

Uniknya, meski sering menyerang SDF di media, beberapa pengamat mulai mempertanyakan apakah Pemerintahan Tripoli dan Benghazi benar-benar menginginkan unifikasi institusional. Ada dugaan bahwa kedua belah pihak—terutama pemerintah di Benghazi—secara diam-diam menerima status quo yang membiarkan sistem hukum tetap terpecah, selama kekuasaan lokal mereka tidak terganggu.

Damaskus Libya, dalam konteks ini, tampaknya tidak sepenuhnya mendorong pembubaran sistem hukum tandingan. Seperti halnya strategi pemerintah Suriah terhadap SDF, pemerintahan timur Libya mungkin juga merasa nyaman dengan sistem peradilan otonom selama tidak ada tantangan langsung terhadap kedaulatan mereka. Dalam hal ini, ketiadaan Mahkamah Agung baru di Benghazi mungkin lebih merupakan strategi politik daripada keterbatasan teknis.

Dengan kata lain, pembiaran ini memungkinkan pemerintahan Benghazi menegakkan hukum sendiri, tanpa harus menghadapi tekanan internasional yang mungkin timbul jika mereka membentuk institusi hukum yang sepenuhnya terpisah dan bertentangan dengan struktur negara Libya yang diakui secara internasional. Mereka tetap menjalankan pengadilan, namun menghindari label "mahkamah agung tandingan" agar tidak terlihat terang-terangan mendeklarasikan pemisahan kekuasaan.

Pemerintah Tripoli pun menghadapi dilema serupa. Meskipun secara hukum mereka memegang Mahkamah Agung nasional, secara de facto kekuasaan mereka hanya terbatas pada wilayah barat. Menegakkan keputusan hukum di wilayah timur tanpa dukungan militer akan sia-sia. Oleh karena itu, dalam praktiknya, Mahkamah Agung di Tripoli hanya berfungsi sebagai institusi simbolik di tingkat nasional, dengan pengaruh nyata yang terbatas secara geografis.

Fragmentasi hukum ini diperparah oleh keberadaan kelompok bersenjata dan milisi lokal yang sering kali memiliki otoritas hukum informal sendiri. Di banyak kota, penangkapan, penahanan, dan penyelesaian sengketa dilakukan secara tidak resmi di bawah kendali kelompok milisi, tanpa intervensi langsung dari pengadilan formal.

Di tengah situasi ini, masyarakat sipil Libya menjadi korban utama. Kepercayaan terhadap sistem hukum semakin terkikis karena ketidakpastian yuridiksi, politisasi peradilan, dan banyaknya pelanggaran prosedural. Ketika dua pengadilan berbeda bisa memberikan dua putusan bertentangan terhadap satu kasus, prinsip keadilan substantif pun runtuh.

Beberapa organisasi internasional seperti PBB dan Uni Afrika telah mendorong reformasi sistem hukum Libya dengan menekankan perlunya reunifikasi lembaga yudikatif. Namun tanpa rekonsiliasi politik antara dua kubu utama, upaya tersebut sulit terwujud. Sistem hukum yang efektif membutuhkan otoritas negara yang terpusat dan stabil, dua hal yang belum dimiliki Libya saat ini.

Dalam perundingan politik Libya yang difasilitasi oleh komunitas internasional, sistem yudisial termasuk Mahkamah Agung seharusnya menjadi agenda prioritas. Namun dalam banyak kasus, isu hukum justru dikesampingkan karena dianggap sebagai produk lanjutan dari kesepakatan politik, bukan sebagai fondasi utama transisi demokrasi.

Padahal, tanpa sistem hukum yang bersatu dan kredibel, upaya untuk menggelar pemilu, membentuk konstitusi baru, atau mengelola sumber daya nasional secara adil akan selalu terbentur kebuntuan hukum. Fragmentasi peradilan di Libya bukan hanya konsekuensi dari perang saudara, tapi juga penyebab utama kegagalan reformasi nasional.

Jika dibiarkan terus-menerus, ketidakpastian hukum ini dapat dimanfaatkan oleh kekuatan regional maupun internasional untuk memainkan pengaruh mereka di Libya. Tanpa mahkamah nasional yang utuh dan diakui semua pihak, konflik kepentingan akan semakin sulit dikendalikan. Kekuatan asing bisa mengeksploitasi celah hukum untuk memperkuat mitra politik lokal mereka.

Kesimpulannya, Libya saat ini secara resmi hanya memiliki satu Mahkamah Agung yang berbasis di Tripoli, namun secara praktis negara ini menjalankan dua sistem hukum yang tidak saling terhubung. Ketidakhadiran mahkamah agung tandingan di Benghazi bukan berarti tidak ada dualisme, melainkan bentuk strategi politik untuk mempertahankan status quo tanpa membuka konflik legal terbuka. Dalam kondisi ini, supremasi hukum di Libya hanya bisa pulih jika penyatuan politik dan kelembagaan berhasil diwujudkan dalam satu kerangka nasional yang disepakati semua pihak.

Posting Komentar

0 Komentar