Jejak pengaruh nusantara di kawasan Afrika Timur semakin menarik perhatian para sejarawan ketika mencermati keterhubungan antara kepulauan Comoro, Madagaskar, dan jalur pelayaran kuno Asia Tenggara. Salah satu jejak yang sering dilupakan adalah pengaruh Kerajaan Sriwijaya yang menjangkau Samudra Hindia hingga ke pantai timur Afrika. Sebagai kekuatan maritim besar dari abad sebelum ke-7 hingga ke-13, Sriwijaya memiliki jaringan dagang yang sangat luas, dan diperkirakan turut membawa pengaruh budaya serta bahasa ke wilayah seperti Madagaskar dan Comoro.
Letak geografis Comoro yang strategis di antara Mozambik dan Madagaskar menjadikannya sebagai titik penting dalam lintasan pelayaran dari Selat Malaka menuju Afrika. Beberapa peneliti menyebut adanya kemiripan bahasa dan istilah dalam logat lokal Comoro dan Madagaskar dengan bahasa Austronesia, yang menjadi bukti tidak langsung mengenai percampuran budaya antara pendatang dari Asia Tenggara dan penduduk lokal di kawasan itu. Salah satu contohnya ialah istilah "raha" untuk raja dalam bahasa lokal yang juga digunakan dalam konteks kekuasaan di Indonesia.
Pada abad-abad awal masehi, pelaut dari Sriwijaya dikenal memiliki teknologi navigasi laut yang sangat maju. Mereka mengandalkan angin musim dan arus laut untuk berlayar jauh ke barat. Madagaskar menjadi titik awal pertemuan antara bangsa Austronesia dan Afrika, yang kemudian berlanjut hingga ke Comoro. Di tempat-tempat seperti Grande Comore, ditemukan pula warisan budaya campuran, baik dalam arsitektur, kesenian, hingga pola hidup agrikultur yang mirip dengan kawasan Asia Tenggara.
Di samping pengaruh Sriwijaya, Comoro juga menjadi bagian dari dunia Islam melalui jaringan kekuasaan dan perdagangan Swahili. Imperium Swahili yang berkembang sepanjang pesisir timur Afrika dari abad ke-10 hingga ke-16 membentuk sistem kerajaan maritim yang kuat, dengan pelabuhan-pelabuhan penting di Kenya, Tanzania, Zanzibar, hingga ke Comoro. Raja-raja Swahili di Comoro menjalin hubungan erat dengan para pedagang Arab, Persia, dan India, membentuk peradaban campuran yang kaya dengan budaya dan ilmu.
Comoro dikenal memiliki sistem kerajaan independen yang disebut sultanat, seperti Sultanat Nzwani dan Sultanat Bambao. Masing-masing wilayah memiliki sistem pemerintahan sendiri, namun tetap menjalin jaringan perdagangan dan politik antar pulau. Pada masa kejayaan imperium Swahili, Comoro menjadi tempat persinggahan penting dalam jalur pelayaran dari Timur Tengah menuju Mozambik dan Madagaskar.
Salah satu peninggalan penting dari era Swahili adalah gerbang-gerbang batu tua yang masih berdiri di Grande Comore, khususnya di Mitsamiouli dan Moroni. Gerbang seperti Goba la Salama dan Fuu la Salama tidak hanya menjadi bagian dari pertahanan kota, tetapi juga simbol perundingan dan perdamaian antar suku. Gerbang-gerbang ini menggambarkan tingginya nilai diplomasi dalam struktur sosial masyarakat Comoro kala itu.
Gaya arsitektur batu dengan menara kecil dan jalur sempit menunjukkan pengaruh Islamisasi dan tradisi Swahili yang mencampurkan unsur Afrika, Arab, dan Asia. Sementara catatan tertulis dari kolonial Prancis di abad ke-19 memberikan gambaran tentang sistem tata kota dan pertahanan Comoro, yang pada masanya sudah sangat tertata dan memiliki kearifan lokal tinggi dalam menjaga harmoni antarkelompok masyarakat.
Dalam konteks hubungan dengan Nusantara, tidak menutup kemungkinan bahwa pengaruh maritim dari Sriwijaya atau bahkan Majapahit sampai ke Comoro dalam bentuk interaksi budaya, agama, dan bahasa. Meski belum banyak bukti arkeologis yang ditemukan, catatan perbandingan linguistik dan kesamaan budaya menunjukkan bahwa kontak antara Asia Tenggara dan Afrika Timur lebih dalam dari yang selama ini diketahui.
Penting untuk diingat bahwa pengaruh Nusantara tidak selalu berbentuk kekuasaan politik langsung, tetapi bisa berupa migrasi pelaut, perdagangan barang, hingga pertukaran budaya. Budaya pesisir yang serupa antara kawasan Indonesia timur dengan pantai Afrika Timur memperkuat asumsi adanya relasi maritim purba yang lebih luas dari dugaan sebelumnya.
Kini, penggalian sejarah Comoro dari sudut pandang Asia Tenggara menjadi tugas penting bagi para arkeolog dan sejarawan. Menghubungkan Comoro dengan jaringan Sriwijaya maupun Swahili akan membuka cakrawala baru dalam sejarah maritim dunia Islam. Sejarah tidak selalu ditulis oleh kekaisaran besar, tetapi juga oleh pelaut, pedagang, dan masyarakat yang membentuk jejaring lintas benua.
Dengan latar belakang ini, penting bagi Indonesia untuk turut meneliti dan merawat warisan hubungan historisnya dengan Afrika Timur, termasuk Comoro. Dalam era diplomasi budaya dan sejarah bersama, penggalian masa lalu ini dapat menjadi dasar kerja sama yang lebih erat di masa depan, baik dalam bidang pendidikan, budaya, maupun ekonomi maritim.
Dari Barus hingga Moroni, dari Sriwijaya hingga Swahili, rantai sejarah ini masih belum selesai ditelusuri. Jejak-jejak tua itu masih tersisa di gerbang batu, bahasa yang mirip, dan sistem sosial yang menghargai perdamaian. Comoro bukan sekadar pulau di antara benua, melainkan simpul sejarah yang mempertemukan Asia dan Afrika dalam pelayaran abadi lintas samudra.
0 Komentar