Dinamika situasi di Suriah semakin semerawut dengan adanya dugaan kuat bahwa Israel tengah berupaya untuk memecah belah negara tersebut dan membentuk entitas-entitas berbasis sektarian.
Upaya ini, menurut berbagai sumber, merupakan bagian dari proyek lama Israel untuk neo kolonialisme baru di Timur Tengah Greater Israel atau Israel Raya dengan preteks menciptakan zona penyangga di sekelilingnya, di luar Dataran Tinggi Golan, wilayah Suriah yang diduduki Tel Aviv secara ilegal.
Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel, bahkan secara terbuka mengancam akan melakukan intervensi militer di Suriah jika kelompok Druze di wilayah Jaramana merasa terancam. Ancaman ini semakin memperkuat dugaan adanya keterlibatan Israel dalam urusan internal Suriah.
Bendera Israel dilaporkan sempat dikibarkan di salah satu lapangan di Suwayda oleh pihak yang tidak dikenal, sebelum akhirnya diturunkan dan diinjak-injak oleh warga setempat. Insiden ini semakin memicu ketegangan dan sentimen anti-Israel di kalangan masyarakat Suriah.
Sebagai bagian dari upaya melecehkan warga Suriah, Israel membuka perbatasan bagi puluhan tokoh agama Druze dari Suriah untuk mengunjungi wilayah pendudukan. Selain itu, Israel juga menawarkan pekerjaan bagi puluhan pekerja Druze setiap harinya. Langkah-langkah ini dipandang sebagai upaya untuk menarik simpati dan dukungan dari komunitas Druze di Suriah.
Proyek Israel ini, menurut para analis, didasarkan pada gagasan untuk memecah belah Suriah menjadi entitas-entitas kecil berdasarkan garis etnis dan agama dan tunduk pada kebijakan Tel Aviv. Israel melihat situasi saat ini sebagai peluang emas untuk mewujudkan proyek lama tersebut, terutama melalui pendekatan terhadap kelompok-kelompok minoritas.
Wakil Presiden Amerika Serikat saat itu, Mike Pence, bahkan sempat berbicara tentang perlindungan terhadap minoritas di Suriah, mengindikasikan adanya operasi rahasia yang dilakukan oleh Amerika Serikat bekerja sama dengan Israel untuk melindungi kelompok-kelompok minoritas, khususnya Kristen dan Druze.
Israel diduga kuat memanfaatkan kelemahan pemerintah Suriah untuk memperluas pengaruhnya di wilayah tersebut. Israel telah menduduki lebih dari 400 kilometer persegi wilayah Suriah dan secara langsung mengawasi ibu kota Damaskus. Selain itu, untuk memancing Presiden baru Suriah Ahmad Al Sharaa untuk terlibat dalam lingkaran konflik yang tak berkesudahan, Israel mengakui telah menghancurkan 80 persen sistem persenjataan Suriah yang diwarisi rejim sebelumnya dalam serangkaian serangan udara terbesar oleh Tel Aviv di Suriah.
Kunjungan para tokoh agama Druze Suriah ke tempat-tempat suci di dekat Tiberias dan pertemuan mereka dengan pemimpin spiritual Druze di wilayah pendudukan semakin memperkuat dugaan adanya motif politik di balik upaya pendekatan Israel.
Berbagai sumber Druze mengungkapkan kekhawatiran bahwa Israel sedang berusaha memanfaatkan situasi yang tidak stabil di Suriah untuk memecah belah negara tersebut dan menciptakan entitas-entitas sektarian. Mereka juga menyoroti kekhawatiran yang muncul di kalangan minoritas setelah peristiwa di wilayah pesisir Suriah.
Pernyataan pemimpin Druze Suriah, Sheikh Hikmat al-Hijri, yang menggambarkan pemerintah Suriah sebagai ekstremis, semakin menambah kekhawatiran akan adanya perpecahan di kalangan komunitas Druze.
Beberapa pihak khawatir bahwa Israel akan memanfaatkan perpecahan di kalangan Druze, di mana sebagian mendukung bergabung dengan Israel, sebagian mendukung pembentukan wilayah otonom, dan sebagian lainnya tetap setia kepada negara Suriah.
Kunjungan ke tempat-tempat suci di Palestina yang diduduki sebenarnya merupakan tradisi lama, namun saat ini, kunjungan tersebut tidak dapat dipisahkan dari tujuan dan niat politik Israel.
Israel juga berusaha memanfaatkan aspek ekonomi dengan mengizinkan pekerja Druze Suriah untuk bekerja di Israel, dengan tujuan untuk menciptakan perpecahan di antara komunitas Druze Suriah dan komponen bangsa Suriah lainnya.
Namun, banyak pihak percaya bahwa komunitas Druze tidak akan terpengaruh oleh rencana Israel. Pemerintah Suriah juga diharapkan memberikan jaminan dan rasa aman kepada kelompok-kelompok minoritas, serta menghadapi rencana Israel yang berusaha memanfaatkan celah untuk memecah belah Suriah.
Rencana Israel terhadap Druze Suriah juga menimbulkan kekhawatiran di Lebanon. Menteri sebelumnya, Walid Jumblatt, dianggap sebagai penghalang utama bagi proyek Israel, karena ia mampu menentang pembentukan negara Druze yang membentang dari Golan dan Suwayda hingga Chouf.
Jumblatt telah lama menentang rencana Israel untuk memecah belah Lebanon dan menolak normalisasi hubungan dengan Israel. Ia dianggap sebagai ancaman bagi proyek Israel dan mungkin berada dalam bahaya.
Israel berusaha melemahkan kepemimpinan Druze untuk mempermudah manipulasi. Kurangnya kepemimpinan politik yang kuat di kalangan Druze Suriah juga menjadi perhatian, karena hal ini dapat dimanfaatkan oleh Israel.
Israel juga memiliki rencana besar untuk membangun "Koridor Daud" yang mencakup kendali atas wilayah selatan Suriah, khususnya Suwayda, hingga perbatasan Irak.
Jika rencana ini benar-benar di mulai maka 'Perang Armageddon' antar sesama Druze akan tercipta; antara pasukan Druze Israel yang bersenjata lengkap didukung oleh sebagian Druze Suriah dan Lebanon pro Israel melawan Druze lainnya yang menolak rencana itu. Lengkap sudah penderitaan negara-negara sekitar Israel karena saling bunuh antar sesama Druze, Sunni (Kurdi vs Arab), Palestina (Hamas vs Fatah vs Druze), Syiah dll telah sukses diorkestrasi Tel Aviv
Namun, banyak pihak masih berharap bahwa tokoh-tokoh Arab Suriah dari berbagai latar belakang akan bersatu untuk menghadapi rencana Israel tersebut.
Situasi ini sangat kompleks dan penuh dengan potensi konflik. Masa depan Suriah dan peran komunitas Druze di dalamnya masih belum pasti.
0 Komentar