Konflik di Sudan semakin memanas dengan upaya Pasukan Dukungan Cepat (RSF) membentuk pemerintahan paralel di tengah pertempuran sengit melawan militer Sudan. Langkah ini menandai eskalasi konflik yang semakin memecah belah negara tersebut.
Situasi di lapangan sangat kompleks dan dinamis. Militer Sudan (SAF) cenderung menguasai wilayah yang lebih luas, terutama daerah pedesaan dan pangkalan militer. Namun, RSF memiliki kontrol yang lebih kuat di wilayah perkotaan, terutama di Khartoum dan Darfur. Pertempuran sengit terus terjadi di berbagai wilayah, sehingga kontrol wilayah dapat berubah dengan cepat.
Di tengah situasi yang tidak menentu ini, RSF dan sekutunya telah menandatangani konstitusi transisi, yang mengarah pada pembentukan pemerintahan paralel. Langkah ini dipandang sebagai upaya untuk mendapatkan legitimasi di mata internasional dan memfasilitasi impor senjata.
Konstitusi yang baru ini menguraikan negara federal sekuler yang dibagi menjadi delapan wilayah. Ini bertujuan untuk membentuk tentara nasional profesional untuk melindungi perbatasan Sudan dan sistem demokrasi. Namun, banyak pihak meragukan niat baik RSF, mengingat rekam jejak mereka dalam konflik.
RSF dan tentara sebelumnya melakukan kudeta pada tahun 2021, menggagalkan transisi ke pemerintahan sipil. Mereka kemudian bentrok pada tahun 2023 atas rencana transisi baru, yang menyebabkan kekerasan, pengungsian, kelaparan, dan kekerasan yang bermuatan etnis.
RSF dan sekutunya berencana untuk membentuk pemerintahan paralel dalam beberapa minggu mendatang, meskipun rincian tentang komposisi dan basis operasinya masih belum jelas. Langkah ini semakin memperburuk situasi di Sudan, yang kini secara de facto memiliki dua pemerintahan yang bersaing.
Militer Sudan, di bawah pimpinan Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, mengklaim sebagai pemerintahan yang sah. Namun, RSF, di bawah pimpinan Mohamed Hamdan Dagalo, juga memiliki kekuatan militer dan administratif di wilayah yang mereka kuasai.
Di tengah konflik yang berkecamuk, sangat sulit untuk menentukan siapa yang diakui sebagai perdana menteri yang sah. Osman Hussein dilaporkan sebagai perdana menteri penjabat yang dikendalikan oleh militer Sudan. Namun, dengan adanya pemerintahan paralel yang dibentuk oleh RSF, situasi ini semakin membingungkan.
Langkah RSF membentuk pemerintahan paralel dikhawatirkan akan memperpanjang konflik dan semakin memecah belah Sudan. Upaya mediasi internasional terus dilakukan, tetapi belum membuahkan hasil yang signifikan.
Masyarakat internasional mendesak kedua belah pihak untuk segera menghentikan pertempuran dan kembali ke meja perundingan. Namun, dengan semakin dalamnya jurang pemisah antara militer Sudan dan RSF, prospek perdamaian semakin suram.
Konflik di Sudan telah menyebabkan krisis kemanusiaan yang parah. Jutaan orang mengungsi, kelaparan mengancam, dan kekerasan seksual meluas. Situasi ini membutuhkan perhatian segera dari komunitas internasional.
Di tengah situasi yang kacau ini, masa depan Sudan tampak suram. Upaya RSF membentuk pemerintahan paralel hanya akan memperburuk situasi dan semakin menjauhkan Sudan dari perdamaian dan stabilitas.
Dibuat oleh AI
0 Komentar