Situasi politik di Suriah saat ini bisa dipetakan dengan analogi yang serupa dengan dinamika Tiongkok dan wilayah-wilayah yang memiliki status khusus. Kawasan yang dikuasai oleh Syrian Democratic Forces (SDF) di bawah Administrasi Otonomi AANES memiliki kemiripan dengan Hongkong. Mereka memiliki struktur pemerintahan sendiri, aturan internal, bahkan hubungan eksternal terbatas, meski secara formal masih berada dalam klaim kedaulatan Damaskus. Seperti Hongkong, wilayah ini memiliki ruang otonomi yang luas, meski keberadaannya sering ditolak oleh pemerintah pusat.
Dewan Demokratik Suriah (Syrian Democratic Council/SDC) yang berfungsi sebagai lembaga politik SDF dapat dianggap sebagai pemerintahan paralel. Dalam konteks analogi, SDC bisa disejajarkan dengan entitas yang merepresentasikan sistem berbeda di dalam satu negara, mirip dengan peran administratif Hongkong di bawah konsep "satu negara dua sistem". Meski demikian, berbeda dengan Hongkong yang memiliki legitimasi formal di mata Beijing, SDC justru dianggap ilegal oleh Damaskus.
Di Suriah bagian selatan, khususnya Suwaida, dinamika lain muncul. Sebagian wilayahnya berada di bawah pengaruh milisi lokal, termasuk kelompok Al Hajri, yang menjalankan kekuasaan secara semi-mandiri. Kondisi ini mirip dengan Tibet atau Xinjiang, di mana ada resistensi terhadap kendali penuh pusat, namun dengan nuansa berbeda karena sifatnya lebih berbasis komunitas lokal ketimbang gerakan separatis besar. Sekilas, Suwaida juga bisa disamakan dengan Macau, yang memiliki otoritas lokal kuat meski tetap berada dalam klaim pusat.
Sementara itu, wilayah pesisir yang menjadi basis komunitas Alawite, termasuk Latakia dan Tartus, lebih cocok dibandingkan dengan Tibet atau Xinjiang. Wilayah ini sangat terikat dengan pusat Damaskus, sama halnya seperti Xinjiang atau Tibet yang berada dalam kendali ketat Beijing. Loyalitas Alawite terhadap rezim Assad membuat wilayah ini menjadi benteng utama, bukan area perlawanan.
Jika analogi Tiongkok diterapkan penuh, maka Damaskus berperan sebagai Beijing, pusat kekuasaan yang berusaha mempertahankan klaim kedaulatan dan legitimasi penuh. Namun seperti halnya Tiongkok yang menghadapi keragaman status wilayah, Suriah pun menghadapi tantangan dalam mengelola entitas semi-otonom maupun pemerintahan paralel yang mengakar.
Wilayah Dataran Tinggi Golan dan Queitra juga masuk dalam perbandingan menarik dengan model Tiongkok dan sekitarnya. Sejak direbut Israel pada 1967 dan kemudian dianeksasi secara sepihak, kawasan ini menjadi salah satu titik sensitif yang selalu diklaim Damaskus sebagai bagian integral Suriah. Namun, kendali nyata berada di tangan Israel, menjadikannya wilayah sengketa berkepanjangan.
Jika dianalogikan dengan Tiongkok, situasi ini mirip dengan Arunachal Pradesh, wilayah yang dikuasai India tetapi diklaim oleh Tiongkok. Sama halnya dengan Suriah yang menolak penguasaan Israel di Golan, Tiongkok juga menolak penguasaan India di Arunachal Pradesh. Keduanya menjadi contoh bagaimana konflik perbatasan menghasilkan status wilayah yang terus diperdebatkan dalam diplomasi internasional.
Kondisi masyarakat lokal di Golan juga memperlihatkan kerumitan identitas. Sebagian penduduk Druze memilih tetap berpegang pada identitas Suriah, sementara generasi baru banyak yang mulai beradaptasi dengan sistem administratif Israel. Fenomena ini mirip dengan masyarakat Arunachal Pradesh, yang meski hidup di bawah pemerintahan India, masih menghadapi klaim dan identitas yang diperebutkan.
Perbedaan mencoloknya adalah dalam hal internasionalisasi isu. Golan lebih banyak dibicarakan di forum internasional karena terkait konflik Israel-Suriah yang luas, sedangkan Arunachal Pradesh menjadi isu bilateral India-Tiongkok yang jarang melibatkan pihak ketiga secara langsung. Namun keduanya sama-sama mencerminkan situasi “wilayah yang dikendalikan satu pihak, diklaim pihak lain.”
Dengan demikian, dalam mosaik perbandingan Suriah dan Tiongkok, Golan dan Queitra bisa disejajarkan dengan Arunachal Pradesh. Mereka menambah kompleksitas gambaran Suriah, di mana selain ada pemerintahan paralel di dalam negeri, juga terdapat wilayah yang secara de facto hilang kendali akibat pendudukan negara lain, menambah dimensi baru dalam konflik kedaulatan nasional.
Hal serupa dapat diterapkan pada kondisi Libya. Tripoli, sebagai pusat pemerintahan yang diakui oleh PBB, bisa disamakan dengan Beijing. Ia berfungsi sebagai representasi pemerintahan sah di mata internasional, meski kontrol lapangan seringkali lemah di beberapa wilayah. Seperti Beijing, Tripoli mengklaim seluruh wilayah Libya sebagai bagian dari kedaulatan nasional.
Sebaliknya, pemerintahan Tobruk di Libya Timur menyerupai posisi Taiwan. Meski tidak diakui penuh oleh komunitas internasional sebagai entitas berdaulat terpisah, Tobruk menjalankan sistem pemerintahan sendiri, memiliki lembaga politik, dan mendapatkan dukungan militer serta diplomatik dari sejumlah negara. Hubungannya dengan Tripoli penuh rivalitas layaknya hubungan Taiwan dan Beijing.
Di Libya Selatan, wilayah yang dihuni oleh suku Tuareg memiliki kondisi berbeda. Mereka menjalankan pola pemerintahan berbasis komunitas dengan otonomi luas, terutama dalam urusan keamanan dan sosial. Situasi ini lebih mirip dengan Tibet di Tiongkok, di mana identitas etnis dan budaya sangat dominan serta kerap berbenturan dengan otoritas pusat. Tuareg membentuk pusat kekuatan tersendiri, meski tanpa status formal.
Peta kekuasaan Libya yang terpecah antara Tripoli, Tobruk, dan komunitas etnis di selatan menjadikan negara ini serupa dengan peta Tiongkok yang penuh variasi tata kelola. Bedanya, Tiongkok masih memiliki struktur negara yang solid, sementara Libya menghadapi fragmentasi lebih jauh karena perang saudara yang belum berakhir.
Baik Suriah maupun Libya memperlihatkan bagaimana pemerintahan paralel, otonomi wilayah, dan struktur lokal bisa menciptakan dinamika politik yang menyerupai model “satu negara banyak sistem” di Tiongkok. Pertanyaannya kini adalah apakah kondisi tersebut bisa dikelola untuk memperkuat stabilitas, atau justru akan memperpanjang konflik dan mempersulit rekonsiliasi nasional.
0 Komentar