Keuchik Maha, Pahlawan Pemberani yang Terlupakan

Nama Keuchik Maha nyaris tak terdengar dalam buku-buku sejarah nasional, meski jejak perjuangannya tertulis dengan darah di bumi Aceh. Ia adalah sosok pejuang yang memimpin perlawanan berdarah terhadap Belanda, terutama terhadap para pengkhianat dan mata-mata atau cuak yang menjual perjuangan rakyat kepada penjajah. Meski terkenal dengan metode yang keras dan kejam, Keuchik Maha tetaplah bagian dari perjuangan panjang rakyat Aceh dalam mempertahankan harga diri dan kemerdekaannya.

Lahir di wilayah Tangse, Pidie, Aceh, Keuchik Maha tumbuh dalam suasana perang berkepanjangan antara rakyat Aceh dan tentara kolonial Belanda. Dalam situasi itulah ia ditempa menjadi sosok pemberani dan tak kompromi terhadap penjajahan. Salah satu kisah paling terkenal adalah pembantaian terhadap seorang mata-mata Belanda bernama Banta dan dua istrinya pada Juli 1910, di mana Keuchik Maha mengeksekusi mereka secara brutal karena dianggap mengkhianati rakyat Aceh.

Tidak hanya Banta, Keuchik Maha juga memburu tokoh-tokoh lokal yang menjadi kaki tangan Belanda, termasuk Keuchik Pulo Seunong dan istrinya. Aksi-aksi ini tidak hanya menimbulkan ketakutan bagi para pengkhianat, tapi juga membuat Belanda kesulitan merekrut informan baru. Ia adalah mimpi buruk bagi para cuak, sekaligus simbol keberanian yang tak bisa dibeli oleh imbalan kolonial.

Tubuh besar dan karisma Keuchik Maha menjadikannya pemimpin pasukan rakyat yang ditakuti dan dihormati. Ia bukan sekadar pemimpin tempur, tapi juga cerdas membaca situasi dan memiliki jaringan intelijen tandingan untuk membongkar siapa saja warga yang mulai berpihak pada Belanda. Informasi dari para simpatisannya sangat akurat, bahkan mengungguli jaringan mata-mata Belanda.

Penulis dan jurnalis Belanda, HC Zentgraaff, dalam bukunya Atjeh, menyebut Keuchik Maha sebagai sosok yang “ganas, brutal, dan membingungkan” karena keberhasilannya menggagalkan kerja intelijen Belanda. Ia mencatat, banyak cuak terbunuh akibat kelalaian mereka sendiri—mereka tak bisa menyembunyikan uang atau hadiah dari Kompeni, dan hal itu cepat diketahui oleh penduduk kampung yang hidup dalam pengawasan sosial sangat ketat.

Nama Keuchik Maha mungkin lekat dengan kekerasan, tetapi pada saat itu, kekerasan adalah satu-satunya bahasa yang dimengerti oleh penjajah dan para pengkhianat. Keuchik Maha melihat bahwa pengkhianatan terhadap perjuangan bukanlah kesalahan kecil, dan konsekuensinya adalah kematian. Itulah prinsip perjuangan yang ia pegang hingga akhir hayatnya.

Karena aktivitasnya yang sangat membahayakan stabilitas kolonial di Pidie, Belanda mengerahkan pasukan marsose elit untuk memburunya. Namun Keuchik Maha sangat sulit ditangkap. Ia bergerak lincah di antara hutan, gunung, dan kampung. Bahkan para pemburunya pun banyak yang menjadi korban serangan balasan dari kelompoknya.

Barulah pada tahun 1911, sebuah informasi bocor bahwa Keuchik Maha akan kembali ke kampung Pulo Seunong menemui istrinya. Informasi ini memicu persiapan besar dari Belanda. Dua pasukan infantri disiapkan di bawah komando Sersan Van Dongelen, seorang Ambon yang membelot kepada kolonial dan dikenal jitu dalam menembak.

Pada sore hari, 24 Maret 1911, Keuchik Maha muncul dari balik hutan. Ia menyadari kehadiran pasukan Belanda, tapi ia tak mundur. Pertempuran sengit pun pecah di tepi hutan. Dalam posisi terjepit dan jumlah pasukan yang tak seimbang, Keuchik Maha tetap bertempur hingga peluru menembus tubuhnya dan ia gugur di medan laga.

Dalam laporan resmi Belanda, disebut bahwa peluru dari Van Dongelen-lah yang mengakhiri hidup pejuang paling ditakuti di wilayah Pidie itu. “Gugurlah kepala gerombolan yang terkenal kejam dan telah lama diburu,” tulis laporan militer marsose pada 24 Maret 1911. Tetapi bagi rakyat Aceh, Keuchik Maha bukanlah gerombolan, melainkan benteng terakhir dari harga diri yang tak sudi tunduk pada penjajahan.

Ironisnya, setelah seratus tahun lebih berlalu, nama Keuchik Maha masih luput dari perhatian sejarah resmi bangsa ini. Ia tidak diangkat sejajar dengan Cut Nyak Dhien atau Teuku Umar, padahal perjuangannya di lapangan tempur tak kalah dahsyat, bahkan lebih menegangkan. Barangkali karena metode perjuangannya yang dianggap terlalu keras oleh kacamata modern.

Namun, sejarah tak selalu bisa dibaca dari kacamata moral kontemporer. Dalam suasana darurat penjajahan, setiap tindakan adalah bentuk perlawanan. Kekerasan Keuchik Maha mencerminkan putus asa dan keputusasaan kolektif bangsa yang dijajah secara sistematis selama puluhan tahun.

Yang lebih menarik, nama Keuchik Maha tidak hanya dikenang di Aceh. Di Sumatera Utara, terutama di wilayah Pakpak Bharat dan Dairi, terdapat marga Maha yang konon masih memiliki keterkaitan dengan marga Maha di Aceh. Salah satu tokoh terkenal adalah Raja Koser Maha atau sering dikenal sebagai Panglima Selimin di Dairi. Hal ini memperlihatkan bahwa jaringan perlawanan terhadap kolonial bisa saja terjalin lintas daerah dan etnis.

Sayangnya, tidak banyak penelitian mendalam yang mengungkap keterkaitan historis antara marga Maha di Pakpak dengan sosok Keuchik Maha. Padahal, membuka jejak ini bisa memperluas pemahaman kita bahwa perlawanan terhadap penjajahan Belanda tidak semata-mata berlangsung di Aceh, tapi juga melibatkan jejaring budaya dan darah dari berbagai wilayah di Nusantara.

Sudah saatnya nama Keuchik Maha dikembalikan ke panggung sejarah nasional. Ia adalah saksi dari brutalitas kolonialisme dan juga lambang dari keberanian rakyat yang tak pernah menyerah. Penulisan ulang sejarah yang lebih adil perlu memasukkan nama-nama yang selama ini tersingkir dari narasi utama.

Potret Keuchik Maha yang tersimpan di Tropenmuseum Belanda bukan hanya artefak sejarah, melainkan simbol bahwa perjuangan bangsa ini memiliki banyak wajah, banyak cara, dan banyak pengorbanan. Meski tubuhnya telah tiada, tetapi namanya patut dikumandangkan sebagai pejuang sejati yang pantang menyerah dan tak sudi jadi budak di negeri sendiri.

Posting Komentar

0 Komentar