Keduanya memang bukan nama bangsa atau negara tapi nama kekuatan politik dominan di Palestina.
Hamas yang menjadi rival Fatah berhasil memenangkan pemilu. Namun negara Palestina sudah terlanjur identik dengan Fatah khususnya proklamasi kedua Palestina oleh Yaser Arafat yang notabene pimpinan Fatah.
Akibatnya keduanya bentrok dan praktis Hamas menguasai Gaza dan Fatah menguasai Tepi Barat sejak 2007.
Walau sudah rekonsiliasi tahun 2014, namun hanya bertahan dua tahun. Sejak 2016, pemerintahan Hamas kembali secara defakto menjadi penguasa di Gaza sampai sekarang.
Di mana letak penjajahannya?
Sejak friksi terjadi pemerintahan Fatah di Tepi Barat memecat 30-50 persen pegawai di Gaza.
Warga Gaza yang ingin berobat ke Israel juga harus dengan persetujuan Fatah.
Fatah juga memecat sekitar 35 ribu satpol PP Gaza termasuk tidak menyalurkan pembayaran listrik ke Israel.
Setelah sukses membubarkan Islamic Emirate Gaza yang dibentuk milisi Jund Ansar Allah yang didukung intelijen Fatah pada 2009, pemerintahan Gaza pernah ungkap keinginan untuk memerdekakan diri tahun 2012 saat Presiden Muhammad Moursi masih menjadi presiden di Mesir.
Wacana ini muncul karena secara de facto pemerintahan Gaza sudah bisa berdiri sendiri dan telah memiliki perangkat pemerintahan yang otonom di bawah Hamas.
Ketergantungan kepada Fatah dan Israel malah membuat Gaza sulit untuk berkembang.
Namun posisi Gaza mirip dengan posisi Kurdistan yang pernah referendum merdeka. Pemerintahan pusat Irak tidak mengijinkan dan juga tidak ada negara luar yang mengakui seperti kasus Catalonia di Spanyol.
Para pejabat pemerintahan di Gaza saat itu tidak yakin ada negara luar yang akan mengakui kemerdekaannya selain Mesir.
0 Komentar