Di Libya dan Tunisia kejadian yang hampir mirip terjadi. Kemarin, Presiden Tunisia membubarkan parlemen.
Meski sempat ditolak, namun anggota parlemen sampai sekarang belum bisa memasuki gedung parlemen karena dijaga militer.
Terlepas dari alasan presiden membubarkan parlemen sistem pemilu Tunisia memang agak rancu. Setengah parlementer dan setengah presidensil.
Negara ini mempunyai presiden yang dipilih secara langsung. Parlemen juga dipilih rakyat.
Bedanya dengan AS adalah syarat untuk menjadi presiden anggota partai. Di Tunisia capres bisa dari mana saja. Bahkan ada calon independen.
Ini mengakibatkan presiden merasa mempunyai otoritas karena dipilih oleh rakyat, begitu juga partai.
Kasus pembubaran parlemen di Libya di era pemerintahan GNA juga agak unik. Saat itu parlemen tidak mau dibubarkan oleh pemerintah dan memindahkan gedung ke Tobruk, Libya Timur.
GNA adalah pemerintahan hasil kompromi beberapa pihak yang bertikai saat itu san diakui PBB. Gantian parlemen yang memecat GNA dan akhirnya Libya terbagi dua.
Kemarin parlemen yang sama yang sebenarnya sudah habis masa baktinya kembali memecat atau membuat mosi tidak percaya ke GNU pengganti GNA.
GNU membangkan dan tak mau dipecat. Justru menggalang massa untuk membubarkan parlemen.
Di Myanmar kasusnya adalah, hasil pemilu tidak diakui oleh militer pelaku kudeta.
Akhirnya caleg yang menag mendirikan parlemen sendiri yang akhirnya membentuk pemerintahan sendiri bernama GNU Myanmar menandingi junta militer.
Belakangan mereka juga membentuk pasukan rakyat (PDF)
0 Komentar